Apakah boleh berdakwah di YouTube yang terdapat iklan-iklan mengandung kemungkaran (musik, wanita bertabarruj, dan semisalnya)?
Apakah boleh berdakwah di YouTube yang terdapat iklan-iklan mengandung kemungkaran (musik, wanita bertabarruj, dan semisalnya)?
Jawaban Ringkas
Boleh, selama pendakwah tidak ikut memilih, menyetujui, atau mengiklankan secara langsung kemungkaran tersebut, serta terdapat maslahat syar'i yang lebih besar, seperti penyebaran dakwah. Hal ini didukung oleh kaidah-kaidah fiqih, fatwa & praktek para ulama kibar, dan pertimbangan antara maslahat dan mafsadah.
Landasan Ilmiah
Kaidah Fiqih:
مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ
("Apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya.")
Makna: Jika tidak mungkin menghindari sepenuhnya iklan yang haram, sementara tujuan utama (dakwah) tetap bisa tercapai, maka tidak perlu meninggalkan seluruh sarana hanya karena sebagian kecil mudarat yang tidak bisa dihindari. Platform digital seperti YouTube adalah sarana (wasilah) netral, dan hukumnya tergantung tujuan pengguna (QS. Al-Isra': 84). Jika digunakan untuk dakwah, ia bernilai ibadah selama tidak melanggar syariat secara langsung.
1. Kaidah Fiqih:
يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
("Sesuatu yang tidak bisa ditoleransi pada asalnya, bisa ditoleransi jika ia sekadar pengikut (tawabi').")
Makna: Iklan bukan tujuan utama, melainkan hanya efek samping dari penggunaan platform. Iklan di YouTube bersifat ghairu muqtashad (tidak disengaja oleh dai) dan ma'fu 'anhu (dimaklumi) karena dai tidak memilih iklan spesifik dan Algoritma YouTube di luar kendalinya.
2. Kaidah Fiqih:
المشقة تجلب التيسير
("Kesulitan akan mendatangkan kemudahan")
Penjelasan:
Prinsip ini menyatakan bahwa ketika ada kesulitan yang signifikan dalam menjalankan syariat, maka Islam memberikan keringanan.
Penerapan: Menemukan platform dakwah global yang 100% bebas dari kemungkaran adalah suatu hal yang sangat sulit (masyaqqah), bahkan mustahil.
3. Kaidah Fiqih:
الضرر يزال
("Kemudaratan harus dihilangkan")
Penjelasan: Kaidah ini menjadi dasar bahwa tujuan syariat adalah menghilangkan segala bentuk bahaya atau kerugian.
Penerapan: Membiarkan platform seperti YouTube dikuasai oleh konten batil dan tidak mengisinya dengan dakwah justru akan mendatangkan kemudaratan yang lebih besar bagi umat. Maka, terjun ke YouTube untuk berdakwah adalah salah satu cara untuk "menghilangkan kemudaratan" tersebut.
5. Fatwa Ulama tentang Bermuamalah dengan Pihak Campuran (Halal-Haram):
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ al-Fatawa 29/272)
Jika dalam harta seseorang terdapat unsur halal dan haram, maka bermuamalah dengannya mengandung syubhat. Tidak bisa dihukumi haram kecuali diketahui bahwa yang diberikan adalah haram. Jika yang halal lebih dominan, maka tidak dihukumi haram bermuamalah dengannya.
Link fatwa lengkap: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/488410
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin:
Jika mayoritas pekerjaan perusahaan itu haram, maka tidak boleh bekerja padanya. Jika mayoritasnya mubah, maka boleh.
Link fatwa lengkap: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/409075
Penerapan:
YouTube bukan perusahaan yang seluruhnya maksiat, banyak konten mubah, bahkan bermanfaat. Selama seorang dai tidak mempromosikan atau mendukung maksiat, serta tidak ridha terhadapnya, ia tidak ikut berdosa. Tanggung jawab kemungkaran di YouTube berada pada pemilik platform, sementara tanggung jawab pembuat channel terbatas pada channel miliknya sendiri.
6. Fatwa Ulama Tentang Tampil di Televisi/Internet yang Bercampur Kemungkaran:
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz:
“Tampil di televisi, jika tujuannya adalah untuk membela kebenaran, maka kami berharap tidak mengapa atasnya (insya Allah) apabila ia muncul di televisi, atau dalam acara diskusi televisi demi membela kebenaran, karena televisi saat ini telah menyebar luas bencananya (yakni digunakan secara umum oleh masyarakat), sekarang orang-orang menontonnya di mana-mana.
Maka jika Ahlul Haq tidak tampil di dalamnya, niscaya yang akan muncul hanyalah Ahlul Batil, lalu batil pun menyebar luas.
Jika para penyeru kepada kebenaran dan ucapan-ucapan yang benar tampil di televisi lalu tersebar, maka itu termasuk hal yang Allah jadikan bermanfaat bagi manusia.
Maka barang siapa tampil di televisi dengan tujuan membela kebenaran, menghancurkan kebatilan, dan mengajak manusia kepada kebaikan, maka kami berharap tidak ada dosa atasnya — karena darurat.”.
Link fatwa lengkap: https://binbaz.org.sa/fatwas/3131
Makna: Platform yang bercampur antara haq dan batil tidak otomatis haram, selama penggunaan kita tidak mendukung batil, dan justru digunakan untuk menyebar kebenaran. Fatwa ini lebih relevan di era digital karena YouTube lebih dominan pengaruhnya daripada TV dan Jika ulama tidak memanfaatkannya, ruang dakwah akan diisi konten batil (QS. Al-Hajj: 40-41).
7. Pertimbangan Maslahat dan Mafsadah:
Prinsip:
الدين مبني على جلب المصالح ودرء المفاسد
("Agama dibangun di atas prinsip mendatangkan maslahat dan menolak mafsadah.").
Penerapan: Jika dengan berdakwah di YouTube jutaan orang mendapatkan hidayah, sementara iklan haram hanya efek samping yang tidak dikehendaki dan tidak bisa dihindari, maka maslahatnya lebih besar dan harus diutamakan.
8. Hukum Asal Platform Digital:
YouTube adalah alat (alat hukumnya mengikuti tujuan). Dalam ushul fiqih, kaidah "al-asl fi al-asyya' al-ibahah" (hukum asal segala sesuatu adalah mubah) berlaku selama tidak ada dalil pengharaman spesifik (QS. Al-Baqarah: 29).
9. Tanggung Jawab Terbatas:
Dai hanya bertanggung jawab atas konten yang diunggahnya (QS. An-Najm: 39), bukan atas kebijakan platform atau iklan yang muncul.
10. Menjawab Keraguan: Bagaimana dengan Prinsip Sadd adz-Dzari'ah?
- Pihak yang melarang berpendapat bahwa menggunakan YouTube sama saja dengan "membuka pintu" bagi audiens untuk melihat iklan-iklan haram.
- Jawaban: Prinsip Sadd adz-Dzari'ah tidak berlaku mutlak. Sebuah jalan (sarana) dilarang jika ia lebih dominan mengantarkan pada keburukan. Dalam kasus YouTube, sarana ini digunakan untuk tujuan kebaikan yang sangat besar yang maslahatnya jauh melampaui mafsadat iklan yang muncul di luar kendali pendakwah.
Sadd adz-Dzari’ah (mencegah jalan kemungkaran) hanya berlaku jika:
(a) Kemungkaran pasti terjadi,
(b) Ada hubungan kausal langsung (seperti menjual senjata ke kriminal).
Di YouTube:
(a) Iklan muncul acak tanpa kendali dai,
(b) Tidak ada bukti iklan menyebabkan penonton jadi maksiat,
(c) Justru dakwah bisa menghalangi penonton mengikuti iklan haram.
Data Empiris:
Riset Pew Research (2023) menunjukkan 74% muslim usia 18-34 mencari pengetahuan agama via YouTube. Meninggalkan platform ini berarti mengabaikan generasi digital.
Kesimpulan Jawaban
- Iklan-iklan haram tersebut bukan dari dai, tidak diniatkan, dan bukan atas pilihannya.
- Dai tidak ikut memproduksi, menyebarkan, atau menyetujui kemungkaran tersebut.
- Dakwahnya memiliki maslahat besar untuk umat, dan dilakukan dengan niat yang benar.
- Iklan tersebut termasuk "tawabi" (efek samping) yang dimaafkan menurut kaidah ushul fiqih.
- Ulama kibar membolehkan hal ini, selama syarat-syaratnya terpenuhi dan tidak mendukung kemungkaran secara langsung.
"Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran baik..." (QS. An-Nahl: 125).
Dakwah di YouTube adalah bentuk hikmah zaman now selama memenuhi rambu syar'i.
Tambahan: Solusi Praktis
- Mengarahkan audiens untuk menggunakan YouTube Premium (bebas iklan).
- Menggunakan aplikasi / ekstensi browser pemblokir iklan.
- Beri peringatan di awal video: "Iklan di luar kendali kami. Mohon skip jika bermasalah.".
- Mengikuti dan Merekomendasikan Kanal Dakwah Terpercaya.
Sebagai bukti nyata bahwa media ini dimanfaatkan oleh para ahli ilmu untuk kebaikan, berikut adalah beberapa tautan kanal resmi milik para ulama dan lembaga Islam yang bisa diikuti:
Kanal Resmi Ulama dan Lembaga Islam
- Lembaga Fatwa Resmi Arab Saudi (Al-Lajnah Ad-Daimah).
- Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
- Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
- Syaikh Shalih al-Fauzan.
- Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali.
- Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad.
- Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Bukhari.
- Syaikh Muhammad bin Ghalib al-Umari.
- Syaikh Kholid Adz-Dzohifiry
KOMENTAR