Sebuah Renungan Untuk Ikhwan Lendah

SHARE:

Sebuah Renungan Untuk Ikhwan Lendah FULL

SEBUAH RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
(Edisi 01)

Hanya Ilustrasi

Beberapa waktu yang lalu, Al-Ustadz Ahmad Khadim Hafidzahulloh yang berdomisili di kota Malang, Jawa Timur, menampilkan sebuah faedah yang sangat berharga disalah satu group media sosial. Kebetulan saya bersama-sama dengan beliau dalam group tersebut. Faedah yang beliau sampaikan tersebut rupanya amat terasa menyentuh jiwa, karena kata-kata emas itu benar-benar mengalir sampai ke lubuk hati. Jazaahullohu khairan.

Nasehat seperti yang beliau salurkan ini sangatlah dibutuhkan. Sebab, hampir semua aktifitas dan kegiatan kita selama hidup didunia tidak bisa lepas dari dua kemungkinan, yaitu "terjadi" dan "tidak terjadi". Sesuai rencana atau tidak sesuai rencana. Seperti yang diharapkan atau tidak seperti yang diharapkan.

Bukankah demikian adanya?
Nah, Al-Ustadz Ahmad Khadim Hafidzahulloh membawakan kalimat bijak milik seorang Shahabat Nabi Shallallohu 'Alaihi wa Sallam yang bernama Abdullah bin Mas'ud Radhiyallohu'anhu.  Kalimat bijak tersebut berbunyi :

"Saya lebih memilih untuk menggigit bara api sampai akhirnya dingin, daripada harus mengucapkan 'andai saja tidak terjadi seperti itu' untuk sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahuwata'ala untuk terjadi".

Iya memang....
Terkadang (kalau tidak boleh dikatakan sering) kita berandai-andai tentang sesuatu. Padahal, hal tersebut telah terjadi.  Telah ditakdirkan dan telah ditetapkan oleh Allah Subhanahuwata'ala.
Tidak mungkin waktu diputar ulang, sehingga kita bisa merubahnya.
Bukanlah kita yang berhak mengatur, namun Dia-lah Dzat yang Maha Mengatur seluruh kejadian dialam semesta.
Barangkali, kita menilai sesuatu yang menimpa itu teramat pahit untuk dirasakan. Merugikan. Kita benar-benar menyesali keadaan. Kita dibuat bersedih karenanya. Galau dan gundah gulana. Pedih tiada terperi. Seolah-olah kehidupan kita sudah berakhir disebabkannya.

Akan tetapi, marilah kita memandang semuanya dengan kacamata husnudzan. Mengambil dan berpikir yang positif. Karena, segala sesuatu pasti ada hikmahnya.

Anda sedang dalam ikatan kerja sama bisnis dengan si A yang baru dikenal, misalnya. Konsepnya dari awal telah dirasa cukup matang. Sirkulasi kerja dari hulu ke hilir telah diprogram sedemikian rupa. Bahkan dari ruang produksi sampai distribusi dan re-produksi kembali juga telah dipikirkan. Anda berdua juga sudah menghitung baik-baik perkiraan untung dan rugi. Hasil prediksi, usaha bisnis ini akan sangat menguntungkan.
Apa posisi Anda? Anda, sebut saja sebagai pemodal. Dan modal yang telah Anda invest-kan terbilang besar. Tidak sedikit. Kemudian waktu berlalu. Setelah memetik keuntungan dan keuntungan berikutnya, yang diselingi sekali waktu dengan kerugian yang tidak begitu berarti, tiba-tiba saja si A pergi menghilang tanpa keterangan. Modal besar yang sudah Anda tanam dibawanya lari. Aset yang tersisa bila dinilai terhitung kecil, jika dibandingkan dengan modal awal yang telah dikeluarkan. Anda telah resmi tertipu!

Apa yang kemudian saat itu Anda lakukan? Bagaimana perasaan Anda?
Jika saya berada di posisi Anda, saya pasti sangat bersedih, kecewa. Saya juga akan menyesal.

Namun, saya dan Anda harus mengingat baik-baik kalimat bijak dari shahabat Abdullah bin Mas'ud Radhiyallohu'anhu di atas.

"Saya lebih memilih untuk menggigit bara api sampai akhirnya dingin, daripada harus mengucapkan, 'Andai saja tidak terjadi seperti itu', untuk sesuatu yang telah ditetapkan Allah untuk terjadi".

Sudahlah... Semua sudah terjadi. Kita tidak boleh berucap, "Andai saja dulu saya tidak langsung percaya kepada si A". Kita pun jangan mengatakan, "Andai saja modal yang saya berikan tidak langsung sebesar itu". Kita buang jauh-jauh kata berandai-andai. Sebab, semua sudah terjadi.

Untuk apa lagi kita berandai-andai? Mencari dimana letak kesalahannya?
Bukankah kita harus percaya bahwa semuanya terjadi hanya dengan takdir Allah?

Artinya, kita harus meyakini bahwa semua yang terjadi di atas muka bumi ini telah ditetapkan Allah. Semua telah ditulis semenjak 50.000 tahun sebelum langit dan bumi diciptakan.
Maka, secara sadar dan ridho, kita harus bisa menerimanya. Ambil sisi positifnya.
Coba kita sedikit menghitung sisi positif yang ada. Menerima takdir Allah dengan penuh ridha merupakan salah satu wujud keimanan. Dengan pengalaman pahit di atas, kita bisa berharap agar iman bertambah dan meningkat. Iman yang meningkat akan semakin meninggikan derajat seorang hamba di sisi Allah. Akankah kesempatan emas ini akan dilewatkan begitu saja dengan banyak berandai-andai?

Kejadian pahit semacam di atas, jika diterima dengan ridha dan lapang dada akan menjadi penghapus dosa dan menggugurkan kesalahan.

Nah, sudah berapa banyak dosa yang telah kita lakukan? Sudah berapa banyak kesalahan kita telah perbuat? Sudah semestinya, seorang hamba dapat berprasangka baik bahwa kejadian-kejadian seperti ini akan membersihkan dirinya dari dosa.

Apakah tidak ingin dibersihkan dari dosa? Tentu ingin sekali bukan?

Teguran dari Allah agar bersikap hati-hati.

Ini adalah sisi positif yang harus kita ingat juga. Sudah seharusnya, dengan kejadian semacam di atas, kedepannya kita bisa lebih berhati-hati. Perilaku dan keputusan yang diambil harus melalui proses yang cermat dan matang. Tidak asal. Tidak sembarang bertindak. Semua harus tertata dan rapi.

Pelajaran hidup yang sangat berharga. Hilangnya yang ada di tangan. Apa yang diharapkan tidak terwujud. Sesuatu yang diinginkan untuk tidak terjadi, ternyata malah terjadi. Ini semua adalah pelajaran hidup agar kita bisa lebih merasa bahwa kita sejatinya bukan apa-apa,  bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa.  Sebab, kita dan yang kita punya sesungguhnya hanyalah milik Allah Ta'ala. Kita dan apa yang ada pada kita, pada akhirnya akan kembali juga kepada pemiliknya,  Allah Ta'ala.

Oleh sebab itu, saat panen yang diharapkan akhirnya gagal. Barang yang dibeli ternyata rusak dan tidak lengkap. Ketinggalan kereta, bis atau pesawat. Proses menikah yang batal. Kecelakaan saat perjalanan menuju sebuah tempat. Kehilangan barang atau kecurian. Tertipu. Mengucapkan kata-kata kasar. Berbuat sesuatu yang memalukan. Saat hal-hal seperti ini terjadi, jangan lagi berandai-andai, "Misale ora ngono" , "Nek wae wingi aku ngene".

Seorang muslim pantang berandai-andai untuk sesuatu yang sudah terjadi. Sebab, lebih baik menggigit bara api yang panas sampai akhirnya dingin, daripada berandai-andai. Cobalah ambil hikmahnya. Pelajari sisi positifnya. Semoga Allah memudahkan urusan anda.

Saudaramu fillah

Abu Nasim Mukhtar "Iben" Rifai La Firlaz

Lendah, Kulonprogo
Rabu Wage
15 Jumadil Awwal 1437 H
24 Februari 2016 M

telegramkajianislamlendah

Group Whatsapp "Semangat Belajar"



SEBUAH RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
(Edisi 02)


Tidak seperti yang dibayangkan  sebelumnya. Rencana yang disusun oleh Rasulullah Shallallohu'alaihi wasallam  dan para sahabat Radhiyallohu'anhum rupanya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Begitulah manusia yang hanya bisa berencana. Jika hal semacam ini terjadi pada diri Rasulullah, lalu apa alasan kita untuk kecewa dan tidak menerima ?
Ingatlah selalu bahwa segala sesuatunya telah diatur oleh Allah. Kita hanya dapat berencana lalu berusaha dan berdo'a.

Mula-mula, rencana yang diinginkan Rasulullah adalah mencegat kafilah dagang milik kaum Quraisy. Daerah Madinah menjadi salah satu titik jalur perdagangan yang menghubungkan antara Mekkah dan negeri-negeri di Syam.

Setelah sebelumnya mengumpulkan informasi secukupnya, beliau memutuskan untuk melaksanakan misi mencegat kafilah dagang. Rencana tersebut disampaikan secara terbatas. Sehingga yang berangkat serta hanya yang saat itu hadir dan siap. Mereka berangkat tanpa mengetahui dalam rangka apa. Sebuah strategi agar rencana tidak bocor.

Misi tersebut sangatlah beralasan. Walaupun sudah berhijrah, meskipun kaum muslimin mengalah dengan meninggalkan Mekkah, tetap saja kaum kafir Quraisy melancarkan permusuhan dan kebencian. Mereka melakukan intimidasi dan memprovokasi masyarakat Madinah untuk mengusir kaum muslimin. Bahkan sesekali mereka melakukan pengacauan secara fisik di sekitaran Madinah.

Kaum muslimin ingin melakukan aksi balas. Sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensi umat Islam. Apalagi hal itu memang telah diijinkan oleh Allah.

Namun, rencana berubah. Tidak seperti yang disusun sebelumnya. Kafilah dagang yang akan dicegat berhasil lolos dengan mengubah rute kepulangan. Sementara dari Mekkah, pasukan besar yang terdiri dari seribuan prajurit, yang semula bertujuan menyelamatkan kafilah dagang malah dengan sombongnya tetap melanjutkan perjalanan untuk berperang melawan kaum muslimin.

BLAARRRRRR......!!!!!

Perang Badar terjadi! Sebuah perang yang sama sekali tidak masuk dalam rencana kaum muslimin sebelumnya. Sekitar 300-an orang dengan perlengkapan sederhana dan persenjataan apa adanya (karena tujuan awal bukan perang, pent) menghadapi pasukan tiga kali lebih banyak. Perang yang akhirnya dimenangkan secara gemilang oleh kaum muslimin. Dengan pertolongan dari Allah tentunya.

 Apa yang dilakukan oleh Rasulullah malam sebelum perang? Beliau berdo'a sepanjang malam tiada henti. Beliau penuh harap mengatakan :

”Ya Allah, penuhilah janji-Mu kepadaku”.

Do'a itu terus dibaca berulang-ulang. Tidak mengenal lelah dalam do'a. Tiada capek untuk meminta. Begitu khusyuk. Sampai-sampai selendang di bahu beliau terjatuh. Abu Bakar lah yang kemudian mengambil lalu memakaikannya kembali.

Bukan hanya malam itu saja rupanya. Doa-doa terus dilantunkan oleh Rasulullah sejak selesai mengatur posisi dan menentukan formasi perang. Bahkan doa-doa itu beliau terus lantunkan sampai saat perang benar-benar berkecamuk. Doa dan doa....

Bagaimana dengan para sahabat?

Tekad kuat. Semangat bulat. Tidak kenal ragu pun tiada terpikir untuk mundur. Semua dikerahkan untuk Islam. Seluruhnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Segala-galanya telah diserahkan untuk kepentingan Islam. Mereka sama sekali tidak takut.

Para sahabat secara utuh berkorban untuk perjuangan Islam. Waktu, tenaga, harta dan nyawa mereka serahkan untuk Islam.

Sebelum perang, Rasulullah sempat meminta keterangan dari para sahabat tentang tekad bulat mereka. Hal ini terjadi setelah rencana berubah. Setelah kafilah dagang lolos, setelah mendengar seribuan prajurit kafir hendak memerangi mereka.

”Bagaimana pendapat kalian”, tanya Rasulullah.

Abu Bakar, Umar dan Al Miqdad sebagai tokoh-tokoh kaum Muhajirin berbicara lantang mendukung Rasulullah.
Namun, Rasulullah masih juga meminta pendapat pasukan. Sampai akhirnya Sa'ad bin Mu'adz sebagai pimpinan kaum Anshar berbicara menyampaikan dukungan penuh. Sa'ad bin Mu'adz menyatakan tegas :

“Wahai Rasulullah! Silahkan Anda perintahkan. Demi dzat yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, andaikan Anda perintahkan kami untuk mengarungi lautan, kami akan mengarunginya bersama Anda. Tidak ada satu pun dari kami yang akan tinggal diam. Kami tidak takut untuk bertemu musuh besok hari."

 Tekad kuat dan bulat penuh doa. Semua lantas dipasrahkan kepada Allah. Kemenangan pun tiba.

    00000_____00000

 Saudaraku, bukankah kita ingin menyampaikan dakwah ini kepada keluarga? Pasti kita ingin agar nikmat dan lezatnya dakwah Salaf ini juga turut dirasakan oleh kerabat sanak kita. Terkhusus orangtua, kakak, adik dan anak-anak kita. Tetapi ingat, hal ini tidak semudah yang dikira. Tidak seperti membalikkan telapak tangan. Perlu perjuangan dan kesabaran.

 Barangkali kita pernah dimarahi. Dicaci-maki. Dicela dan direndahkan. Dituduh macam-macam. Entah itu sebagai kelompok sesat, teroris, sok suci, merasa benar sendiri, anak kemarin sore lah, menggurui orangtua atau istilah-istilah lain.

Mungkin saja banyak dari kita akhirnya dibenci dan dijauhi. Bisa jadi kita dianggap memalukan dan mencoreng "nama baik” keluarga. Tapi, biarlah saja. Toh yang kita cari adalah ridho Allah, bukan ridho mereka.

Pernahkah terbayang, orangtua dan keluarga kita akhirnya menerima dakwah. Mendukung dan menyokong. Semua dari kita tentu ingin rasanya membayangkan hal itu. Sebenarnya hal itu bisa terjadi, asalkan Allah memberikan pertolongan dan menurunkan kemudahan-Nya. Namun, kapankah pertolongan itu datang? Kapan pula kemudahan itu tiba?

Marilah belajar dari kisah perang Badar!

Mungkin kita yang tidak maksimal. Barangkali kita kurang bersungguh-sungguh. Semangat kita bisa dikata lemah.

Bila saja kita bisa berdoa sepanjang malam, di tiap malam, berdoa agar orangtua dan keluarga diberi petunjuk Allah seperti yang dilakukan Rasululah di malam Badar. Bilamana kita membulatkan tekad seperti tekad bulat para sahabat. Waktu, tenaga, harta dan jiwa kita berikan. Mengarungi lautan dan mendaki gunung tinggi kita lakukan.

Bilamana hal itu sudah kita lakukan, maka saat bertanya, ”Kapankah pertolongan Allah datang?” Jawabannya adalah  “Alaa inna nash-rallahi qariib”. Yakinlah bahwasanya pertolongan Allah  sangatlah dekat!


Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Lendah, Kulonprogo.
Rabu Legi 02 Maret 2016

Group whatsapp "Semangat Belajar"
 https://telegram.me/kajianislamlendah
〰〰〰〰〰〰〰


RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
(Edisi 03)


 Untuk kali ini, mohon renungan yang akan saya tulis untuk tidak dishare atau disebarkan ke group dan channel selain di @kajianislamlendah.  Sekali lagi, saya minta tolong. Kenapa? Saya malu.

 Kejadiannya kemarin pagi, tepat setelah shalat shubuh. Saya merasa kehilangan dengan kawan-kawan dari Bantul bagian barat, kenapa satu dua orang saja yang hadir. Sampai pada akhirnya pak Sugeng, seorang dokter hewan, datang lalu menemui dan menyampaikan,  "Pak Harjo kecelakaan, Ustadz”. Pak Sugeng sendiri berasal dari Bantul.

 Oh, ini rupanya yang membuat kawan-kawan dari Bantul tidak terlihat di majlis. Ternyata mereka sedang berkumpul di lokasi kecelakaan. Seketika itu juga, majlis langsung saya hentikan dan meminta kawan-kawan yang hadir untuk langsung menjenguk pak Harjo yang sudah dibawa ke rumah sakit.

 Sekilas waktu, agak kaget bercampur emosi. Astaghfirullah!  Rasa-rasanya ingin melihat si pelaku yang membelok ke arah berlawanan dengan pak Harjo tanpa menghidupkan lampu sign. Rasa-rasanya ingin menumpahkan kesal kepada si tukang ojek, pelaku tersebut.

 Sampai di lokasi kejadian, kaget dan emosi itu langsung menurun drastis. Menyaksikan wajah dan kondisi si tukang ojek tersebut, meluluhkan hati juga. Apalagi beberapa warga menginformasikan bahwa Mas Wajib, si tukang ojek tersebut, agak kurang waras. Lebih-lebih, saat saya ikut mengantarkan Mas Wajib pulang ke rumahnya, hilang sudah rasa kesal itu. Kenapa? Di hadapan kami, putrinya juga ternyata kurang waras.

 Ya Allah, teguran-Mu begitu lembut sekali.

 Dibanding Mas Wajib, rumahnya yang sangat kecil dan putrinya yang kurang waras... Ah... hamba-Mu ini kurang bersyukur. Selama ini, hamba tidak sering bahkan jarang bersyukur. Engkau beri hamba akal sehat, badan sehat, rumah yang luas dan nyaman, juga Engkau beri hamba seorang putri yang mungil lagi sehat. Alhamdulillah...

 Cukuplah sebagai teguran, ya Allah. Hamba kini tersadar. Hamba tak dapat membayangkan betapa berat kehidupan Mas Wajib. Dia sendiri tidak begitu sehat akal, pekerjaan serabutan, rumah yang kumuh juga menghidupi seorang anak perempuan yang tidak sehat akalnya. Walaupun hamba yakin, itulah kehendak-Mu yang pasti berjuta hikmah di sana.

00000_____00000

 Namanya Suharjo. Usia 44 tahun. Pak Harjo adalah salah satu peserta aktif kajian Shubuh yang rutin diadakan setiap lepas shalat Shubuh di Masjid Kepek, Lendah. Pak Harjo termasuk dari enampuluh lebih peserta yang rutin dan aktif dalam pelajaran tajwid dan Bahasa Arab. Walaupun sudah berusia kepala empat, bukannya melemah semangatnya, justru malah terlihat semakin membara.

 Rumahnya di Bantul. Kurang lebih 8 - 10 km dari masjid yang biasa kami adakan kegiatan kajian. Pak Harjo dan kawan-kawan lainnya, hampir setiap pagi menembus malam dan kabut yang kadang turun diatas sungai Progo untuk bisa mengikuti program Al-Qur'an dan Bahasa Arab. Kalau saya sendiri, terus terang saja, belum tentu bisa sesabar mereka.

 Lebih dari satu tahun kami bersama dan berkumpul. Sudah banyak kegiatan yang dijalani. Sudah banyak kisah yang terukir. Dari makan nasi kuning kecil-kecilan sampai urunan membeli kambing untuk disate bareng-bareng. Mulai dari rujakan di pantai Trisik sampai touring ke puncak Dieng. Apalagi kerja bakti untuk membangun perpustakaan selama empat bulan kemarin, sudah tentu melahirkan serasa dan sepenanggungan.

 Sewaktu mendengar pak Harjo kecelakaan, hati saya langsung "mak tratap". Sedih. Walaupun bukan hanya pak Harjo yang akan membuat saya seperti itu. Seandainya bukan Pak Harjo pun, asalkan dia adalah sahabat dan teman saya, tentu sedih dan tratap pasti mengalir. Apalagi, pak Harjo mengalami kecelakaan saat sedang perjalanan menuju kemari, menuju tempat kami biasa mengaji. Rasa-rasanya, saya ikut bertanggung jawab.

Satu hal yang membuat saya salut kepada Pak Harjo, yaitu baktinya kepada sang ibu. Sudah sepuh dan cukup lanjut, namun pak Harjo nampak sabar melayani. Saya pernah berkunjung ke rumahnya, ternyata pak Harjo sedang metani kutu (mengambil dan membersihkan kutu menggunakan tangan) dari rambut ibunya. Tidak semua orang bisa seperti itu!

00000_____00000

 “Nyuwun pangapunten, Ustadz. Meniko perkembanganipun pak Harjo, sak meniko opname nipun wonten Jalan Parangtritis, RS Griya Mahardika. Amargi wau hasil pemeriksaan wonten RS Harjo Lukito, operasi dinten Kamis. Nek wonten mriki, ndalu meniko jam 8. Anggaran diperkirakan 15 juta. Nanging tergantung pen- nipun”.

 Kata-kata di atas adalah isi sms Mas Heru yang sejak pagi menemani pak Harjo.

 Meminta tentu kepada Allah! Namun, ikhtiar apa yang bisa saya lakukan. Jumlah tersebut pasti berat jika harus ditanggung keluarga Pak Harjo sendiri. Terlebih lagi setelah melihat kondisi si penabarak, tidak kuasa hati ini untuk menuntut.

 Apa boleh buat, karena saya merasa ikut bertanggung jawab, saya beranikan diri untuk menulisnya sebagai sebuah renungan. Coba bayangkan seandainya Anda menjadi pak Harjo? Bukankah berat dipikir? Tentu susah, bukan? Jumlah untuk biaya operasi dan pengobatan tersebut pastilah terasa besar.

 Namun, apa gunanya ukhuwah islamiyah. Untuk apa kita sering mendengar sabda Nabi Shallallohu'alaihi wasallam bahwa kaum muslimin itu seperti sebuah bangunan, satu sama lain saling menguatkan. Buat apa kita mendengar bahwa kaum muslimin itu bagaikan satu tubuh, jika satu anggota badan merasa sakit, sakit itu pun dirasakan oleh seluruh badan. Buat apa dan untuk apa, kalau tidak kemudian kita amalkan.

 Alhamdulillah, pagi tadi kita sama-sama telah melaksanakan shalat gerhana matahari. Di antara amalan kebaikan yang dianjurkan Rasulullah Shallallohu'alaihi wasallam adalah banyak-banyak bersedekah. Mari kita gabungkan amalan-amalan ini, barangkali kelak bisa membantu kita untuk terhindar dari siksa Allah dan terjaga dari panasnya neraka.

 Jangan melihat sedikit banyaknya yang bisa diberikan untuk membantu pak Harjo, namun yang terpenting adalah niatan kita untuk melaksanakan anjuran Rasulullah.

 Saya sendiri pun merasa tidak mampu berbuat lebih banyak dari menulis. Saya hanya bisa membantu dengan kata-kata. Tak lebih dari itu. Apalagi saya merasa ikut bertanggung jawab, sebab kecelakaan pak Harjo saat sedang menuju majlis taklim saya. Lebih-lebih, saat di rumah sakit,di ruang UGD, pak Harjo sempat bercerita kepada saya :

 “Lah nganu, Ustadz. Tadi sewaktu kecelakaan, selama dalam perjalanan sampai terjadi, saya sedang mengulang-ulang Wasy Syam-syi wa dhuha-haa untuk disetorkan ke Ustadz”.

 Ya Allah, ampunilah hamba-Mu.



Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Lendah, Kulonprogo
Rabu Pon
09 Maret 2016
Hari Gerhana Matahari


RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
(Edisi 04)


* Biaya Operasi Pak Harjo Telah Tercukupi *



 Senyum Pak Harjo adalah senyum saya, juga senyum kita semua. Saat kemarin sore kita bersama-sama menjenguknya ke rumah sakit, ada senyum tulus terukir di bibir pak Harjo. Ketika saya berniat menghibur dengan membacakan untuknya Renungan Ikhwan Lendah Edisi 03 yang terkait dengan Pak Harjo, beliau mendengarkan dengan seksama, nampak mata berkaca-kaca. Oh, sunggung mengharu biru suasana diruang pasien itu.

 Saat dengan agak lirih seperti berbisik, saya sampaikan bahwa biaya operasi telah terkumpul, Pak Harjo semakin berkaca-kaca. Kalimat-kalimat ia untaikan dalam bahasa jawa sebagai tanda syukur dan terima kasih. Kakak Pak Harjo, Pak Satijan namanya, langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menangis. Saya yakin menangis haru. Ia pun mengucapkan banyak-banyak terima kasih.

 Saya sendiri tidak pernah menyangka. Dan saya yakin bahwa Allah adalah dzat yang Maha Pemurah lagi Maha Penuh Kasih. Dalam hitungan beberapa jam saja, biaya operasi Pak Harjo telah tertutup. Tulisan yang diupload saudara kami A** A**** (:ed) sebagai admin di channel telegram @kajianislamlendah, rupanya sempat dibaca oleh beberapa muhsinin. Muhsinin adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut para donatur.

 Siapa-siapa sajakah para muhsinin untuk Pak Harjo ini? Hanya satu atau dua atau tiga saja paling banyak dari mereka yang saya kenal sebelumnya. Selainnya? Semua adalah hamba-hamba Allah. Terkadang ada niatan untuk menanyakan, tetapi beliau-beliau mungkin lebih memilih untuk tidak dikenal saja. Saya sempat “iseng” bertanya kepada beberapa muhsinin :

 ”Maaf sangat. Ini pun jika berkenan. Atas nama siapa nggih?”

 “Dari hamba Allah saja, Ustadz”.

Bagi saya, jawaban ini sangat menghentakkan. Beliau yang saya maksud turut menyumbang lebih dari separoh biaya yang dibutuhkan, namun berusaha menyembunyikan identitas. Ini pun sebuah pelajaran berharga. Siapapun Anda, saya hanya bisa mendoakan kebaikan untuk Anda.

 Di sisi lain, saya amat bahagia. Melalui sebab Pak Harjo, bertambah lagi sahabat-sahabat saya. Beliau-beliau yang ikut menjadi muhsinin Pak Harjo, akhirnya saya ajak berkenalan. Tersambunglah tali persaudaraan, melekatlah ikatan persahabatan. Untuk mereka yang sempat saya kenal melalui momen Pak Harjo, saya hanya mampu mendoakan semoga persahabatan kita berlanjut hingga ke surga.

 Saya mewakili Pak Harjo sekeluarga mengucapkan :

 ”Jazaakumullahu khairan katsiiran”. Semoga Allah memberi kebaikan sebanyak-banyaknya sebagai balasan atas perhatian Anda semua.

00000_____00000

 Di antara kita, ada yang kaya ada juga yang miskin. Orang yang mempunyai harta dan orang yang tak punya juga menjadi sebuah kenyataan yang kita saksikan. Pasti ada hikmahnya, bukan? Iya. Pasti!  Syaikh As Sa'di Rahimahulloh menyimpulkan dari ayat 32 surat Az Zukhruf :

 ”Andai semua orang sama-sama kaya, tidak membutuhkan satu sama lainnya, akan banyak mashlahat dan kepentingan yang tidak tercapai”.

 Benar! Apabila tidak ada orang fakir dan miskin, bagaimana mungkin kita bisa mengamalkan ayat Al Qur'an dan bagaimana bisa kita melaksanakan tuntunan Rasulullah yang berisikan perintah berbuat baik kepada kaum fakir dan miskin? Bahkan, beberapa kaffarah (langkah menebus kesalahan) adalah dengan memberi makan orang miskin.

 Jika tidak ada kaum fakir miskin, bagaimana langkah kita untuk bersyukur? Bersyukur itu akan mudah tercapai dengan memperhatikan dan melihat ke bawah. Melihat bahwa masih banyak orang-orang yang keadaannya jauh lebih susah dibandingkan kita. Melihat ke bawah lalu sedikit melihat diri sendiri :

”Ternyata, kondisi saya masih jauh lebih lapang dibandingkan mereka”.

 Nabi Muhammad Shallallohu'alaihi wasallam sendiri pernah berpesan dalam hadits shahih yang cukup ringkas :

”Perhatikanlah orang yang ada di bawahmu. Jangan melihat yang di atasmu. Sungguh! Hal itu akan membantumu untuk tidak menilai kecil nikmat yang Allah berikan untukmu”.

Iya. Nikmat yang telah Allah berikan untuk kita sudah sangat banyak. Namun, kita saja yang tidak pernah merasa cukup. Sulit sekali rasanya untuk bisa puas.

Jika hendak mengetahui nilai kesehatan kita, cobalah jenguk orang-orang yang terbaring sakit. Bila ingin mengetahui nilai kekuatan fisik, cobalah tengok mereka yang mengalami cacat tubuh. Kalau mau menakar kekayaan kita, mari sini kita mengujungi kaum fakir miskin.

Anda harus bisa menyadari nilai ilmu dan majlis ilmu yang berada di dekat Anda.  Misalnya dengan sesekali berbicara dengan saudara kita yang jauh tempatnya dari majlis ilmu. Sebab, mereka berada di pelosok sana. Supaya kita tidak bermalasan dalam thalabul ilmi.

 Pak Harjo juga memberikan pelajaran penting untuk kita. Jadilah orang baik! Baik kepada keluarga, baik kepada tetangga, baik kepada teman dan lebih dari itu semua, baik kepada orangtua. Saya berprasangka baik selalu, bahwa kenapa begitu besar respon positif dan cepatnya bantuan terkumpul untuk Pak Harjo ini? Mudah-mudahan itu merupakan sebagian dari balasan kebaikan pak Harjo sendiri.

00000_____00000

 Ingat! Dalam harta yang kita punya, ada hak milik kaum lemah. Asalkan kita bergerak bersama, dalam ritme dan alunan yang sama, sungguh menjadi duta-duta kebaikan itu amatlah mudah. Harta adalah titipan Allah. Allah sendiri yang menentukan akan dikemanakan dan untuk diapakan harta tersebut. Bacalah ketentuan-ketentuan itu di dalam Kitab-Nya dan di dalam sunnah Nabi-Nya.

 Di dalam sebuah hadits, Rasulullah berusaha menyadarkan kita tentang arti dan hakikat harta milik kita. Makanan yang telah habis dikonsumsi, pakaian yang digunakan hingga usang dan harta yang disedekahkan. Hanya tiga jenis alokasi ini yang benar-benar tercatat sebagai harta milik kita.
Selain itu? Bisa saja hilang, terbakar, diambil orang, atau kalau tidak ya ujung-ujungnya, setelah kita meninggal dunia, harta itu dibagikan kepada ahli waris.

 Nah, disekitar kita, sebenarnya masih banyak Pak Harjo-Pak Harjo yang lain. Mereka yang memerlukan bantuan dari kita, minimalnya do'a dan secuil perhatian. Anda yang datang menjenguk orang sakit, Anda yang mengunjungi rumah orang miskin, Anda yang membuat orang bersedih menjadi tertawa, Anda yang membantu kesusahan orang lain, itu semua adalah bibit-bibit kebaikan.

 Marilah membangun kepekaan kepada lingkungan. Dengan menebar kebaikan kepada orang-orang di sekitar kita, semoga menjadi langkah awal yang besar untuk dakwah. Kegiatan sebulan sekali yang ikhwan-ikhwan Lendah lakukan, dengan cara urunan membagi bingkisan senilai lima puluh ribu rupiah kepada orang-orang tua jompo di padukuhan Jatisari dan sekitarnya, mudah-mudahan bisa terus berlanjut. Sebab, Allah tidak akan mensia-siakan amal kebaikan hamba-Nya.



Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasiim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Jatisari, Lendah, Kulonprogo
Kamis Wage
10 Maret 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

https://telegram.me/kajianislamlendah
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰


RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
(Edisi 05)


Walaupun belum maksimal, paling tidak kita sudah berusaha. Memang benar, kita masih belum bersusah-payah, belum berupaya keras dan belum sepenuh hidup untuk berjuang di jalan Allah. Namun, kesempatan belum tertutup. Waktu terbentang di hadapan kita. Kita masih bisa memperbaiki diri, membenahi dan meningkatkan lagi. Sungguh, Allah maha mampu.

 Sudah banyak dari kita yang sangat memahami bahwa berdakwah di jalan Allah adalah amalan terbaik. Sudah banyak dari kita yang telah membaca bahwa Rasulullah menghabiskan hidupnya untuk berdakwah di jalan Allah. Kita pun sudah sering mendengar bahwa permusuhan dan kebencian kaum kafir Quraisy disebabkan Rasulullah yang tak pernah berhenti untuk berdakwah.

 Bagaimana dengan kita?

 Tidak perlu terburu-buru menjawab. Jangan tergesa-gesa. Coba kita berpikir jernih. Marilah menghayati pertanyaan singkat di atas. Setelah itu, jujurlah saja untuk mengakui realita pada diri kita. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Setelah membaca pertanyaan tadi, jawaban apa yang bisa kita berikan?

 Pertanyaan apa?

 Pertanyaan untuk kita yang telah sering mendengar dan membaca bahwa Rasulullah begitu gigih dan tabah di dalam berdakwah. Pertanyaan itu adalah : "Bagaimana dengan kita?" Ijinkan saya untuk menggambarkan.

 Bukankah kita sering mengeluh? Dan sangat banyak sesuatu yang kita keluhkan. Bukankah kita sering cepat putus asa? Dan kita bingung harus berbuat apa. Bukankah tidak jarang kita berpangku tangan? Dan kita melewatkan begitu saja kesempatan untuk terlibat dalam dakwah.

 Gambaran diatas bukan untuk merendahkan, bukan pula karena mengecilkan arti perhatian yang telah kita berikan. Gambaran diatas hanya sebatas mengingatkan bahwa ada beban dakwah di tiap-tiap pundak kita. Kita harus melibatkan diri karena memang sudah terlibat. Kita mesti bergerak aktif, sebagaimana yang telah dilakukan selama ini.

 Keutamaan berdakwah itu amatlah besar. Sebagai contoh adalah memberikan informasi. Iya, sebatas memberikan informasi bahwa di masjid A tiap hari B diadakan kajian Z oleh Ustadz Fulan. Sekadar memberikan informasi saja sudah tercatat sebagai dakwah. Belum lagi jika kita sendiri mendatangi dan orang yang kita beri informasi tadi juga ikut menghadiri. Tentu akan berlipat-lipat pahalanya.

 Rasulullah pernah memotivasi para sahabat dengan hal ini. Beliau bersabda :

"Barangsiapa mengajak orang lain kepada kebaikan, ia akan memperoleh pahala dan ditambah pahala orang-orang yang mau mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka".

 Masya Allah! Siapa yang tidak tertarik dengan janji pahala seperti didalam hadits tersebut? Kita semua mestinya tersentil dengan sabda Nabi diatas. Hanya memberikan informasi, tidak lebih dari itu, sudah dijanjikan pahala. Padahal apa sih susahnya memberikan informasi? Apa sulitnya menyebarkan informasi kebaikan? Asal tidak lupa saja, dalam memberikan informasi haruslah dengan cara yang bijak, sopan dan terkonsep.

 Keutamaan berdakwah itu sangatlah besar. Sekedar berinfak dengan sepotong kurma, contohnya. Berinfak atau menyalurkan dana untuk berdakwah akan menjadi sebab terhindarnya kita dari neraka. Neraka itu benar-benar ada. Diciptakan untuk mensiksa orang-orang yang memang layak disiksa. Mereka yang tidak tunduk dengan aturan-aturan Allah. Rasulullah pernah bersabda :

"Jagalah dirimu dari neraka, walaupun hanya berinfak dengan separuh buah kurma”.

 Jika separuh buah kurma (bukan satu biji buah kurma yang utuh) bisa menjadi sebab terhindar dari neraka, kenapa kita tidak terdorong untuk memberi lebih dari separuh buah kurma? Apakah kita tidak bisa lebih dari itu? Bisa! Apakah kita merasa hanya mampu separuh buah kurma? Saya rasa tidak. Pasti bisa lebih dari itu.

00000_____00000

Alhamdulillah. Dakwah di Lendah dan sekitarnya telah mulai. Meskipun kita masih terhitung baru, baru kurang dari dua tahun. Kegiatan dakwah telah berjalan dengan baik. Jika di awal-awal dulu kegiatan hanya setiap selesai shalat Shubuh, kini bertambah lagi setiap selesai shalat Maghrib. Bayangkan untuk disyukuri, kajian rutin setiap hari sebanyak dua kali. Bukankah karunia ini harus disyukuri?

 Semenjak dakwah mulai berjalan, sudah banyak tanggapan orang. Sudah sering kita mendengar bagaimana respon masyarakat. Pada umumnya baik dan positif. Walaupun ucapan miring, tanggapan negatif bahkan kesan menentang juga ada. Namun, saya mengingatkan bahwa tujuan berdakwah bukan untuk mencari ridha manusia. Berdakwah adalah kewajiban masing-masing kita kepada Allah.

 Saya sangat berbahagia karena Panjenengan semua adalah sahabat-sahabat yang mudah untuk diajak kerjasama, hidup prihatin, saling memahami, tidak merendahkan yang lain dan selalu mengalah. Saya sudah menyaksikan dan merasakan kebersamaan ini, walhamdulillah.

 Kini, kita telah menjadi satu keluarga. Tidak ada jarak di antara kita, satu dan yang lainnya. Bahagia yang dirasakan satu anggota keluarga kita, bisa dirasakan senang oleh seluruh anggota keluarga yang lain. Susah payahnya seorang dari kita adalah susah payahnya kita bersama. Maka, tugas kita selanjutnya adalah menjaga nikmat ini. Jagalah kebersamaan ini dengan bersikap selalu mengalah!

 Saya begitu terharu, saat meninggalkan Panjenengan selama kurang lebih sepekan ini. Kenapa terharu? Ternyata, usaha mendirikan sebuah bangunan sederhana bercorak Jawa di lahan milik kita terus berjalan. Iya, tanpa saya, kerja bakti terus berjalan. Kemarin sore, sebelum sampai di rumah, saya sempatkan untuk menengok lokasi pembangunan. Alhamdulillah, delapan tiang cor telah selesai digarap. Walaupun rumah itu nantinya cukup sederhana, namun akan terasa banyak manfaatnya, Insya Allah.

 Usaha Panjenengan, tenaga panjenengan, waktu panjenengan, harta panjenengan, usul dan saran panjenengan, saya doakan semoga tercatat sebagai amal kebaikan yang akan memperberat timbangan kebaikan pada hari kiamat nanti. Semoga yang panjenengan lakukan bisa menjadi sebab jauhnya malapetaka, musibah dan bahaya. Semoga apa yang panjenengan berikan dapatlah menjadi sebab putra-putri panjenengan menjadi shalih dan shalihah.

 Saya sadar bahwa selama ini terlalu sering merepotkan dan menyibukkan panjenengan dengan kerja bakti dan kerja bakti. Saya sadar bahwa rata-rata, panjenengan hanyalah petani kecil, buruh dan tukang biasa, pedagang keliling dan semisalnya. Namun percayalah, bahwa saya sama sekali tidak berniat memberatkan. Saya hanya yakin bahwa panjenengan semua mempunyai potensi dan kemampuan untuk terlibat dalam dakwah. Dengan tenaga untuk membangun.

 Saya pernah bertanya kepada salah seorang dari panjenengan :

"Pak, kok panjenengan terlihat semangat dan tidak kenal lelah untuk kerja bakti?”

Jawabannya sangatlah menyentuh :

"Ngapunten, Ustadz. Sebab hanya dengan cara ini, saya bisa berbuat”

Baarakallahu fiik


Saudaramu dijalan Allah :

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Lendah, Kulonprogo
Kamis Legi
07 Jumadits Tsani 1437 H
17 Maret 2016 M

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH 
( Edisi 06 )



Sejak pertama kali mendengar nama Boven Digul, yang masuk dalam benak saya adalah lokasi terpencil lagi primitif. Dari kecil saya memang mempunyai kebiasaan membaca, apalagi sejarah. Nah, pertama membaca Boven Digul, bayangan yang ada adalah penjara alam yang sangat menakutkan lagi mengerikan. Sebuah neraka dunia, kata sebagian mereka.

Sebutan itu muncul karena Boven Digul dipilih oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk kamp pengasingan bagi orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan mereka. Ada tokoh-tokoh bangsa yang pernah merasakan dibuang di Boven Digul. Jumlah mereka yang mengalami masa buangan -menurut referensi yang saya baca- mencapai ribuan orang.

Bagaimana lukisan Boven Digul di zaman itu? Lokasi yang berada jauh dipedalaman Papua. Jalan darat tidak dapat mencapainya. Untuk menuju kesana, harus melalui aliran sungai Digul. Sungai dengan banyak cabangnya, yang menjadi lokasi populasi buaya liar yang ganas. Belum lagi binatang dan hewan liar lainnya yang pastinya juga sangat berbahaya.

Malaria. Nyamuk malaria menjadi salah satu yang ditakutkan oleh mereka yang pernah menginjakkan kaki di Boven Digul. Penyakit kencing hitam, yang dari namanya saja sudah cukup mencemaskan. Boven Digul dipilih sebagai tempat pengasingan karena memang hampir tidak ada celah untuk melarikan diri.

Walaupun -katanya-, tidak ada siksaan yang dilakukan, namun mereka yang pernah dibuang di sana sudah cukup tersiksa. Rasa rindu, kesunyian, keterbatasan makanan dan minuman, dibayang-bayangi oleh ancaman suku-suku asli juga pertengkaran sesama mereka yang terkadang  berakhir dengan saling bunuh.

Kini, Boven Digul berdiri menjadi sebuah kabupaten yang terpisah dari Merauke, sebagai kabupaten induk sebelumnya. Jaraknya yang ratusan kilometer dari Merauke, mau tidak mau membuat rencana pengembangan wilayah tidak dapat dielakkan. Menurut informasi dari ikhwan-ikhwan disana, perjalanan darat menuju Boven Digul sangat melelahkan. Ditiap penggal perjalanan, harus melewati pos-pos militer  yang didirikan dalam rangka tugas pengamanan.

Malam ini, saya akan ke sana. Dari Jakarta, penerbangan menuju Jayapura terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan penerbangan ke Merauke. Paginya disambut dengan perjalanan darat mengarah ke Boven Digul.

Sama sekali tidak pernah berpikir, terpikir dan ingin berpikir untuk sampai ke Boven Digul. Bayangan dan gambaran kondisi alam yang “menakutkan” masih mendominasi dalam pikiran. Makanya ketika mendengar dakwah Salafiyyah sudah bisa berdiri dan diterima di Boven Digul, lebih tidak terbayangkan lagi sebelumnya.

00000_____00000

Kalau boleh memilih, saya lebih senang dan tenang untuk tetap di rumah. Di Lendah dengan sekian aktivitasnya. Rumah sendiri adalah surga dunia. Di rumah, saya dapat menenangkan diri, menentramkan hati serta menjernihkan pikiran. Namun, apa boleh dikata, terkadang kita dihadapkan pada satu pilihan. Tanpa ada pilihan kedua.

Bayangkan! Sudah beberapa kali saya berkomunikasi dengan saudara-saudara kita di Merauke. Terkadang melalui taklim dengan telekonferens. Sesekali hanya ramah tamah melalui telpon atau via sms. Sudah terbilang lama, komunikasi itu terjalan. Walau hanya suara, tanpa pernah bisa membayangkan raut wajah mereka.

Satu hal yang membuat saya kagum adalah semangat mereka untuk mendalami ilmu agama. Jarak bukan alasan bagi mereka. Ketiadaan ustadz juga tidak masalah. Sebab, kecanggihan dan kemudahan berkomunikasi telah menjadi pilihan. Jadilah mereka berkumpul di setiap pekan, untuk kemudian menghubungi seorang ustadz, lalu kajian via telepon terselenggara.

 Baarakallah fiihim.

Saat permintaan dari mereka agar saya menyempatkan waktu untuk berkunjung ke sana, kira-kira pantaskah saya menolak? Walaupun berat memang. Sebab, konsekuensinya adalah berpisah dengan Lendah, ikhwan-ikhwan Lendah dan semua kegiatannya. Bukan sehari dua hari, dari rencana semula enam belas hari, kini berubah menjadi sebelas hari. Terlalu panjang untuk sebuah perpisahan dengan ikhwan-ikhwan Lendah.

Namun, siapa yang tidak tertarik dan tidak terdorong? Tertarik dengan sebuah kabar gembira dari Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam. Beliau yang pernah bersabda :

”Sungguh! Allah, malaikat-malaikat-Nya, seluruh penduduk langit dan bumi. Bahkan semut-semut yang disarangnya, ikan-ikan yang didalam air, memohonkan ampun untuk mereka yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain."

 Apakah saya termasuk yang mengajarkan kebaikan? Apakah ada ketulusan disana? Entahlah. Bukankah kita hanya bisa berharap ?  Bukankah kita harus berusaha ?  Bukannya hendak merekomendasikan diri atau merasa bisa seperti itu. Namun, sabda yang disampaikan oleh Rasulullah diatas adalah motivasi untuk kita semua agar giat berdakwah. Supaya kita semangat didalam menyebarkan agama Allah.

Walaupun saya meninggalkan Panjenengan semua untuk sebelas hari ke depan, ingat bahwa hal itu tidak boleh dijadikan sebab atau diangkat sebagai alasan untuk berhenti belajar atau tidak mengaji. Tidak boleh berhenti mengaji! Masih ada Syekh Ridwan, masih ada Ustadz Ubaid dan masih ada Ustadz Firdaus Hafidzahumulloh. Kepada mereka saya menitipkan pesan, agar kegiatan mengaji kita di setiap shubuh dan maghrib tidak boleh berhenti.

Hari ini, saya yang berangkat ke Papua. Panjenengan yang saya tinggal tetap berkegiatan di Lendah. Tetapi -Insya Allah-, suatu saat nanti, entah setahun, dua tahun atau bahkan sepuluh tahun ke depan. Setelah Panjenengan mencapai kemapanan dalam mengaji, yakni lebih dalam lagi untuk mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Saat itu, tidak menutup kemungkinan, ada dari Panjenengan yang menggantikan saya. Menunggu keberangkatan pesawat menuju Papua untuk berdakwah. Berjuang untuk meninggikan Kalimatullah diatas bumi. Sementara saya menjadi yang ditinggal di Lendah.
Namun, siapapun yang berangkat dan siapapun yang ditinggal, masing-masing harus  tetap istiqomah berjalan di atas dakwah Salafiyyah. Semangat dan berusaha ikhlas! Berlomba menjadi hamba-hamba Allah yang dimohonkan ampun oleh seluruh makhluk dialam raya.


Saudaramu di jalan Allah

 Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Terminal F5, Cengkareng
(tetap merasa di Lendah)

Rabu malam, 23 Maret 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 07 )


3.782 km. Tiga ribu tujuh ratus delapan puluh dua kilometer. Itulah jarak tempuh udara dari Jakarta hingga Jayapura.
Inilah penerbangan domestik paling lama yang pernah saya rasakan. Menggunakan jasa Garuda Airways, menuju Jayapura dari Jakarta ditempuh dalam waktu lebih dari lima jam. Layar info yang diletakkan pada bagian belakang kursi penumpang (di hadapan saya) menunjukkan ketinggian jelajah lebih dari sebelas ribu meter dari permukaan laut.

 Penerbangan yang terasa lama, apalagi saat harus menembus lapisan awan yang membuat pesawat bergetar. Tidak ada cahaya di luar jendela yang bisa dilihat. Semua yang nampak hanya awan, kebanyakannya tipis, walaupun tidak sedikit awan tebal. Dinginnya temperatur lumayan dapat teratasi dengan fasilitas bantal dan selimut dari pihak maskapai.

 Shalat shubuh dilakukan didalam pesawat, sebab Jayapura lebih cepat dua jam bila dibandingkan dengan di Lendah. Berangkat dari Jakarta pukul 23.30 WIB, kemudian mendarat di Jayapura pada pukul 06.38 WIT dengan disambut gerimis hujan.

Keindahan tanah Papua begitu jelas terlihat sesaat sebelum mendarat. Danau Sentani rupanya jauh lebih elok dari sebatas kata-kata yang tercipta. Bandara Jayapura dinamakan Bandara Sentani, barangkali karena letaknya yang berada disalah satu sisi Danau itu. Hampir semua daratan yang terlihat berwarna hijau memukau. Aliran sungai bagaikan kawanan ular yang sedang bermain bersama.

Setelah transit hampir satu jam, penerbangan dengan pesawat yang sama dilanjutkan menuju Merauke. Satu jam diatas pesawat diakhiri dengan landing di Bandara Mopah, Merauke. Rupanya kami sudah dinanti dan disambut oleh belasan ikhwan dipintu keluar bandara. Sebuah pertemuan yang cukup mengharukan.

Setelah sarapan dan ramah tamah sesaat, perjalanan masih belum selesai. Ada kurang lebih 450 km yang harus ditempuh untuk sampai ke titik tujuan terakhir, Tanah Merah di Kabupaten Boven Digoel. Alhamdulillah sebuah mobil Hilux 4WD sudah disiapkan panitia beserta sopir terpilih yang bertugas di Basarnas.

Kondisi jalan dan jarak tempuh mengharuskan mobil dan sopir yang handal dan berpengalaman.
Sepanjang perjalanan, yang saya lihat disamping kanan kiri adalah hutan rimba, sungai dan rawa-rawa. Satu dua rumah penduduk asli dilewati setiap beberapa kilometer. Ketika melintasi area trasnmigrasi, barulah deretan rumah sederhana dapat dijumpai. Perjalanan yang cukup melelahkan, sampai sempat tertidur beberapa waktu.

Infrastruktur jalan bolehlah disebut baik. Jalan Trans Papua yang kami pilih terdiri dari satu jalur saja. Naik turun hampir di sepanjang perjalanan. Tikungan tajam terlalu sering. Selama perjalanan panjang itu hanya sesekali saja berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berbeda. Serasa jalan itu milik kami saja.

Ketika melewati titik pemukiman penduduk asli, dipinggir jalan ada yang berjualan hasil tangkapan ikan air tawar kami sempatkan untuk berhenti membeli. Pengalaman baru yang berkesan saat bercakap-cakap dengan sekumpulan penduduk lokal. Mereka dengan bentuk fisik, rambut dan bahasa khasnya.
Ada ikan Kakap Putih yang kami beli. Menurut panitia yang mendampingi, penghasilan penduduk asli sangat bergantung kepada hasil alam, terutama ikan.

Ternyata bumi Papua memang kaya. Bayangkan, ikan Arwana dengan ukuran lumayan, yang di pulau Jawa bernilai hingga jutaan, oleh penduduk asli hanya dijual sepuluh atau dua puluh ribu saja jika masuk dalam jaring mereka.

Satu hal  yang juga cukup berkesan adalah ketika menyaksikan ular Phyton dengan panjang dan ukuran lumayan. Saat kami melintas disebuah area hutan, sopir sengaja memberhentikan mobil hanya untuk memperlihatkan kepada kami sebuah tontonan asyik. Ternyata ada seekor ular Phyton yang sedang berdiam dipinggir jalan.

00000_____00000

Salah satu tujuan ke Boven Digoel adalah berdakwah, yakni mengenalkan konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Oleh sebab itu, ada beberapa pos militer yang kami singgahi untuk  memberikan undangan pengajian kepada mereka.

Kajian Islam Lendah, [26.03.16 08:26]
Kebetulan, Satgas Pamtas yang sedang di-BKO-kan adalah Yonif 301/PKS dari Kodam Siliwangi. Kedatangan kami disambut hangat ditiap-tiap pos mereka. Obrolan ringan tidak kami lewatkan untuk semakin menambah keakraban. Disisi lain, kami hanya bisa mendoakan agar tugas yang mereka laksanakan berjalan lancar dan baik. Apalagi, program dari komandan sebelum pulang dari tugas adalah membangun mushalla di setiap pos penjagaan. Kami sempat diajak untuk menyaksikan area pembangunan mushalla-mushalla tersebut.

Boven Digoel adalah daerah perbatasan dengan Papua Nugini. Pemerintah memutuskan untuk menanam pos-pos militer sebagai upaya pengamanan. Alhamdulillah, daerah Boven Digoel kini telah aman dan kondusif. Berbeda jauh dengan sepuluh tahun sebelumnya. Kami sempat diberi keterangan oleh panitia yang mendampingi kami, tentang peristiwa kekacauan yang pernah dilancarkan oleh OPM. Termasuk dirute yang kami lewati. Mendengar cerita kekacauan yang dilakukan OPM tersebut memang cukup mengerikan. Alhamdulillah, pemerintah Indonesia sangat tanggap sehingga dengan sigap operasi pembersihan dan penumpasan berjalan sukses. Diam-diam dihati ini sempat terselip juga perasaan cemas, jangan-jangan masih ada yang usil. Bayangkan 450 km dengan jalan yang tidak ada lampu jalan sama sekali. Gelapnya malam, hujan, jalan berlobang dan ditengah-tengah hutan belantara.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil. Semua kita pasrahkan kepada Allah, dzat yang maha perkasa lagi maha melindungi. Kalau tujuannya adalah berdakwah dijalan Allah, pantaskah seorang hamba takut kepada selain Allah? Alhamdulillah, kami tiba di Masjid Baiturahman pukul 22.00 waktu setempat dengan selamat.

Ada satu pelajaran penting yang bisa diambil dari perjalanan Merauke-Boven Digoel, yakni bersyukur. Kita yang berada di Kulonprogo, terkhusus Lendah, harus sering-sering bersyukur. Fasilitas disekitar kita amat memadai dan lengkap. Jalan raya, fasilitas umum, keamanan dan ketertiban, fasilitas kesehatan, kebutuhan informasi, keberadaan sinyal telpon, bahan makanan dan sekian banyak lainnya.

Bagaimana bentuk bersyukur kita? Semangat beribadah! Semangat Ngaji!

Allah berfirman dalam Al Qur’an yang artinya :

”Maka hendaknya mereka beribadah kepada Dzat yang memiliki rumah ini (Ka’bah). Dia-lah dzat yang telah memberikan kenyang dengan makanan sehingga tidak lapar dan dzat yang memberikan rasa aman dari ketakutan”.

Ayo semangat Ngaji!


Saudaramu dijalan Allah :

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Boven Digoel,
Jum’at 25 Maret 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 08 )


Bayangkan lalu bandingkan! Kepadatan penduduk (jika layak disebut padat) antara Boven Digoel dengan Kulonprogo. Dengan jumlah penduduk kurang lebih tujuh puluh ribu jiwa, yang tersebar di luas wilayah lebih kurang 27.108 km². Berapa jiwa yang menetap di tiap kilometernya? Sangat jarang dan berjarak, bukan?

Kalau panjenengan hanya membayangkan, saya disini langsung menyaksikan. Boven Digoel adalah sebuah Kabupaten hasil pemekaran dari Merauke pada sepuluh tahun yang lalu. Terletak di bagian timur Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea, Boven Digoel terletak di sebelah selatan pegunungan Jayawijaya.

Boven Digoel terhitung sebagai salah satu daerah pedalaman Papua. Beberapa ikhwan Salafy yang sekian lama bertugas dinas dan pernah masuk ke bagian terdalam, memberi kesaksian yang menunjukkan bahwa cerita tentang anak suku pedalaman yang masih memakan manusia benar-benar ada. Rupanya itu bukan cerita fiktif belaka.

Ada dua puluh distrik (sebutan untuk kecamatan) di Boven Digoel. Jarak tempuh terjauh dari ibukota Boven Digoel adalah ke distrik Waropko. Dengan menggunakan transportasi sungai, jarak Boven Digoel-Waropko mencapai 200 mil. Nama-nama distrik sendiri terdengar aneh, seperti ; Ambatwaki, Firiwage, Manggelum, Mindiptana, Yaniruma, Kawagit, Iniyandit dan lain-lain. Meskipun ada nama yang agak akrab dengan ikhwan Lendah, yaitu distrik Subur.

Menurut cerita, Boven Digoel sebagai kawasan hidup dibuka pertama kali oleh Kapten LTh Becking, seorang perwira Belanda pada tahun 1927. Kawasan ini dulunya adalah hutan rimba dan rawa-rawa tempat hidup ular dan buaya. Masjid Raya Baiturrahmah yang kami tempati selama daurah, halaman depannya saat pembangunan harus ditimbun sebanyak seribuan rit. Sebab, lokasinya berbentuk rawa-rawa yang dalam.

Namun, semenjak pemekaran, Boven Digoel kini sudah sangat banyak berubah. Keganasan dan kesan primitif walaupun masih ada, akan tetapi tidak lagi seperti dulu. Kaum pendatang yang berasal dari Jawa dan Sulawesi mempunyai peran yang tidak sedikit dalam proses pengembangan wilayah. Tata lingkungan pun sudah terlihat rapi dan teratur. Satu hal yang masih agak susah sampai sekarang adalah keberadaan sinyal telekomunikasi. Saat ini hanya pada titik tertentu dan waktu tertentu saja,  bahkan hanya oleh satu provider saja sinyal dapat diterima.

Umat Islam di Boven Digoel mengambil kurang lebih 30% dari jumlah penduduk. Hanya sedikit sekali penduduk lokal yang memeluk agama Islam. Selainnya ada agama Katolik dan Protestan yang lebih dominan.

Ada satu hal yang bisa saya simpulkan sementara, yaitu penduduk lokal yang beragama non muslim, pada dasarnya bisa menerima kehadiran umat Islam. Barangkali menyusupnya provokator lah yang harus diantisipasi.

Ke depan, penerimaan dakwah Islam yang lebih luas oleh penduduk lokal bukanlah sebuah kemustahilan. Salah satu contoh, ketika ada salah seorang mekanik dari RRI (bukan RII) yang sedang bertugas untuk menyiarkan live khutbah Jum’at oleh Ustadz Ayip Hafidzahulloh, saya sapa sambil saya berikan minuman botol dan sebuah minuman kotak, hingga saya terlibat perbincangan yang cukup hangat. Padahal mekanik tersebut beragama nasrani.

Ada sebuah harapan, dengan sikap baik dan akhlak mulia dalam berdakwah, mereka para penduduk lokal akan tertarik untuk masuk Islam. Semoga.

00000____00000

Boven Digoel barangkali bisa dimasukkan dalam prioritas dakwah Salafiyyah. Kenapa demikian? Karena corak dan warna aliran Islam di Boven Digoel tidak begitu terlihat “ramai”. Berdasarkan kesaksian dari ikhwan-ikhwan disini, umat Islam di Boven Digoel mayoritasnya adalah awam. Organisasi dan kelompok Islam tidak begitu kentara. Sekalipun ada, satu atau dua, hampir tidak ada kegiatan mereka yang aktif.

Berbeda dengan Salafiyyin. Sebagai salah satu indikatornya adalah Masjid Raya Boven Digoel yang dapat dikondisikan diatas Sunnah. "Sesuai Sunnah Nabi" adalah ungkapan yang biasa digunakan oleh ikhwan-ikhwan kita untuk beralasan ketika ingin menyampaikan atau menerapkan Sunnah Nabi. Hampir seluruh jajaran PKM (Panitia Kesejahteraan Masjid) Masjid Raya berasal dari ikhwan-ikhwan kita.

 Untuk pusat Kabupaten Boven Digoel, yaitu Tanah Merah atau Mandobo, sekaligus lokasi kajian, ada lima masjid yang berdiri. Empat masjid diantaranya, termasuk Masjid Raya dapat digunakan untuk dakwah Salafiyyah. Bahkan masjid At-Taqwa di KM  3, ketua PKM nya telah berlangganan majalah Asy Syari’ah. Masyarakat dan PKM telah membeli tanah dengan status wakaf untuk digunakan sebagai lokasi pondok pesantren Salafiyyin. Sebuah asa untuk generasi muda Islam di Boven Digoel.

Seberapa besar sih antusias umat Islam di Boven Digoel terhadap dakwah Sunnah? Sangat antusias! Hari pertama tiba disini, kami disambut oleh ikhwan-ikhwan yang selama ini mempunyai semangat untuk mempelajari Sunnah. Hampir di setiap lini kerja ada Sunnah disana. Ikhwan-ikhwan ada yang berasal dari TNI/Polri, Dokter dan Perawat, Kepala Dolog, Sekretaris Dukcapil, Guru-guru Sekolah, Pegawai Bappeda, Pengusaha, sampai para pedagang.

Untuk ukuran waktu, jika dibandingkan dengan seberapa luas penerimaan masyarakat, dakwah Sunnah terbilang cukup pesat. Apalagi warna dakwah Sunnah saat ini bisa menjadi warna yang utama dan mencolok. Pakaian syar’i bukanlah satu hal yang aneh disini.

Al-Ustadz Shadiqun Hafidzahulloh yang berasal dari Ambon, boleh disebut sebagai perintis dakwah di Boven Digoel. Beliau datang pada tahun 2014. Kali ini, Ustadz Shadiqun sudah sampai ke distrik Mindiptana, yang jaraknya kurang lebih 80 km dari pusat Boven Digoel.

Khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ustadz Ayip Hafidzahulloh di Masjid Raya Baiturrahmah turut disiarkan oleh RRI setempat. Bahkan saat pagi hari, saya sempat mengikuti siaran pengumuman di RRI yang menyampaikan tentang kegiatan Kajian kita selama dua hari di Boven Digoel. Padahal, RRI mayoritasnya adalah kaum nasrani. Beberapa Kajian Ustadz Shadiqun pun pernah disiarkan ulang oleh RRI setempat.

Inilah salah satu ladang dakwah Sunnah. Dakwah Salafiyyah. Masyarakat Muslim Boven Digoel yang belum begitu diwarnai oleh kelompok-kelompok atau sekte Islam menjadi pekerjaan rumah bagi kita untuk digarap. Mari mengupayakan agar dakwah pertama yang mereka kenal adalah dakwah Sunnah.

Masjid Raya, juga masjid At-Taqwa, melalui PKM-nya, sudah meminta bahkan memohon untuk diupayakan seorang ustadz yang dapat menetap di Boven Digoel. Minimalnya sebulan penuh di bulan Ramadhan. Bila mungkin, setiap tiga bulan sekali ada Ustadz yang datang mengisi kajian. Sebuah permintaan yang -sekali lagi- mengingatkan kita untuk lebih rajin dan semangat Ngaji. Semangat thalabul ilmi.

Panjenengan yang dekat dan mudah menuju tempat Ngaji atau bahkan tinggal di sekitar Pondok Salafy, bersyukurlah! Rajin-rajinlah menghadiri majlis ilmu. Tidak menutup kemungkinan, jika kita tidak pandai bersyukur, Allah akan mencabut nikmat ilmu, majlis ilmu atau keberadaan Ustadz.

Sudah seharusnya Anda semangat Ngaji, agar kelak Anda bisa bergantian untuk bertugas dakwah di Boven Digoel dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Karena jika anda tidak bersemangat, khawatirnya nikmat ilmu yang selama ini anda rasakan akan hilang. Anda yang akan kehilangan kesempatan untuk bisa lagi duduk dimajlis ilmu. Sebab -bisa saja-, mereka para Ustadz lebih tertarik untuk berdakwah di Boven Digoel. Karena, masyarakat disana sangat antusias dalam menerima dakwah Salafiyyah. Wallahu a’lam


Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Boven Digoel,
Sabtu 26 Maret 2016
(Mulai Rindu Lendah)

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 09 )


Sudah puluhan bahkan ratusan kajian yang telah saya ikuti, namun baru kali ini saya serasa menyaksikan sebuah keajaiban. Keajaiban? Apakah tidak terlalu berlebihan? Jika dirasa berlebihan, lantas kosa kata apa yang harus saya pilih? Ah, barangkali lebih tepat jika dikatakan saja sebagai “sesuatu yang baru”. Baiklah, saya akan menggunakan frasa “sesuatu yang baru” untuk menggambarkan situasi kajian hari pertama di Boven Digoel.

Masjid Raya Baiturrahmah diramaikan oleh peserta Kajian. Dari ratusan yang hadir, hanya beberapa saja yang terlihat menggunakan pakaian gamis atau jubah. Merekalah para panitia. Selain itu? Masyarakat muslim secara umum. Masyarakat awam, menurut istilah populernya. Di bagian belakang masjid, bersekatkan lembaran kain yang tinggi, kaum muslimat juga turut meramaikan.

Nah, ada sesuatu yang baru pada Kajian kali ini yang saya saksikan. Puluhan, bahkan jika saya menyebut lebih dari lima puluh, kiranya tidak salah. Iya, lima puluh lebih peserta yang hadir, yang duduk dan bahkan mengambil posisi di barisan depan adalah anggota TNI dan Polri. Seragam doreng dan seragam coklat mereka pakai, dan jadilah warna hijau doreng dan coklat memberikan warna mencolok di ruang masjid Baiturrrahmah.

Rupanya pucuk pimpinan TNI dan Polri di Boven Digoel bukan hanya menganjurkan anggotanya untuk hadir, bahkan para pimpinannya pun turut bergabung di barisan peserta. Dandim dan Danramil serta Wakapolres (sebab Kapolres beragama non) dapat membaur dengan baik. Semuanya mengikuti Kajian dari awal hingga akhir.

Inilah yang tadi saya sebut sebagai “sesuatu yang baru”.  Jika sebelum-sebelumnya, anggota TNI dan Polri sebatas memberikan pengamanan atau mengikuti acara dari luar ruang Kajian, kali ini mereka duduk rapi dan teratur sebagai peserta. Ada bahagia yang tak terkata, lahir rasa senang yang tiada terbilang. Apalagi saat menyaksikan mereka berdiri melaksanakan shalat sunnah tahiyyatul masjid. Semoga Allah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya untuk TNI dan Polri.

“Saya salut dan bangga dengan Ustadz-Ustadz yang datang.  Di tempat yang begitu jauh ini, Ustadz-Ustadz mau berusaha untuk datang memberikan pencerahan”.

Kira-kira seperti itulah kesan dan sambutan yang disampaikan Wakapolres Boven Digoel, Bapak Muhammad Ja’far dalam acara ramah tamah dengan Muspida dan tokoh masyarakat selepas shalat ashar.

Mewakili Dandim, Danramil Bapak Suwandi menilai tema Kajian yang diangkat sangatlah menarik. Selain itu, pihak TNI juga mengharapkan agar di salah satu kajian yang diadakan untuk mengangkat tema bahaya Narkoba terhadap generasi muda muslim. Subhaanallah! Bukankah sudah seharusnya kita berbahagia saat TNI/Polri mendukung dakwah Sunnah? Dakwah kebaikan dan kebajikan?

Alhamdulillah, ramah tamah di sore hari itu berjalan penuh kehangatan. Turut hadir selain dari unsur TNI/Polri dan Muspida adalah tokoh-tokoh masyarakat, PKM se Boven Digoel, FKUB dan perwakilan dari Satgas Pamtas Yonif 600/Raider dari Kalimantan. Ramah tamah yang sampai melahirkan kesimpulan akan pentingnya untuk bersatu melawan berbagai kemaksiatan dan ideologi menyimpang. Seperti terorisme, radikalisme, syi’ah, komunisme, liberalisme, pornografi dan narkoba.

00000_____00000

Di antara tumpukan Al-Qur’an dan buku-buku di rak perpustakaan masjid At Taqwa, saya sempat dikagumkan dengan adanya terjemah kitab Utsuluts Tsalatsah. Masya Allah! Di ujung timur Indonesia, di sebuah tempat pedalaman Papua, di lokasi yang berjarak ratusan kilometer dari kota Merauke, dakwah Tauhid telah sampai. Bahkan, sebuah terjemahan dari kitab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga ada di rak buku tersebut.

Tanpa menafikan siapapun yang sebelumnya pernah sampai disini, peran Ustadz Shadiqun Ambon cukuplah besar. Empat kali beliau menapak hingga ke Boven Digoel. Bukan hanya sehari dua hari, namun belasan hari. Kitab Fathul Majid beliau ajarkan, demikian pula pembahasan tentang fiqih shalat disampaikan. Diselingi nasehat-nasehat yang bermuatan targhib dan tarhib. Sebentuk upaya dakwah di bumi Papua.

Bila sedang tidak ada ustadz yang berdakwah di Boven Digoel, mereka sendiri yang saling mengisi kesempatan. Setelah shalat shubuh, mereka bertadarus Al-Qur’an. Rutin juga mereka membaca buku-buku terjemah Ahlus Sunnah. Satu orang membaca dengan suara lantang, yang lain menyimak dan mendengarkan dengan seksama. Lihatlah semangat mereka untuk mendalami Islam! Mereka berusaha mandiri secara maksimal. Mereka haus akan ilmu.

 Bagaimana dengan Anda? Anda yang sebenarnya cuma menghabiskan waktu sepuluh atau duapuluh menit saja untuk sampai di majlis taklim. Anda yang mempunyai rumah dengan jarak puluhan meter saja dari Pondok, bahkan di samping Pondok. Anda yang tinggal di dekat seorang Ustadz. Apakah bisa membayangkan apa yang diupayakan saudara-saudara kita di Boven Digoel demi untuk bisa bermajlis ilmu?

 Ayo semangat Ngaji!

Untuk memenuhi kebutuhan khatib Jum’at, mereka “memaksakan” diri untuk tampil. Meskipun dengan membaca, namun yang mereka baca adalah teks khutbah Jum’at yang diambil dari majalah Asy Syari’ah, majalah Qudwah atau semisalnya. Kenyataan ini semakin menguatkan semangat untuk lebih memperhatikan keberadaan majalah-majalah Salafiyyin. Ternyata, majalah-majalah itu sangat bermanfaat di daerah terpencil semacam Boven Digoel dan lainnya.

Sinyal telekomunikasi yang dibatasi jumlah penggunanya, waktu dan lokasinya, bukan menjadi alasan bagi mereka untuk diam pasif. Melalui aplikasi RII (Radio Islam Indonesia), juga group-group Salafy di media sosial, mereka aktif  mengikuti perkembangan dakwah Salafiyyah di Indonesia. Nama-nama Ustadz Salafy, pondok-pondok Salafy dan kegiatan dakwah Salafiyyah sudah lumayan akrab bagi mereka. Rindu dan penasaran mereka untuk bertemu adalah sebuah kewajaran, bukan?

Ada satu hal lagi yang cukup menarik yang saya cermati. Dalam hitungan beberapa tahun sejak mengenal dakwah Salafiyyah, satu kata yang akrab saya dengar dari mereka adalah “Na’am”. Jika berbincang, bertanya dan bercerita, perhatikanlah dengan seksama, mereka sering mengucapkan ”Na’am” sebagai pengganti “Iya”. Kalau kita di Lendah, selain “Na’am”, yang sering diucapkan adalah “Nggih”.

Ah, jadi rindu dan kangen untuk mendengar lagi “Nggih”, "Njih” atau “Injih”. Dan itu, ada di Lendah.



Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Boven Digoel
Ahad 27 Maret 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 10 )

Hari-hari di Boven Digoel terbilang cukup padat. Sejak Shubuh hari pertama kedatangan sampai selesai kegiatan hari ini, saya dan Ustadz Ayip Hafidzahulloh diberi jadwal taklim pada setiap selesai shalat lima waktu. Saya disatu masjid, sementara Ustadz Ayip di masjid yang lain. Dalam sehari, ada sepuluh kali taklim di Boven Digoel. "Memaksimalkan kesempatan" kata mereka.

Di setiap kali taklim, sesi yang terpanjang justru disaat tanya jawab. Wajar saja hal itu karena mereka sedang dalam posisi haus akan ilmu. Pertanyaan yang diajukan pun sebatas hal-hal sederhana seputar kehidupan sehari-hari. Tidak ada perdebatan, tidak ada pula kesan “ngeyel” dari mereka. Memang murni bertanya.

Di sela-sela kegiatan taklim, kami sering duduk bercengkerama. Berbincang tentang keseharian mereka, profesi dan asal-usul mereka serta harapan ke depan. Selama di Boven Digoel mereka yang aktif berkumpul di depan kamar tempat kami menginap adalah ikhwan-ikhwan pendatang dari luar Papua. Mereka berkumpul di depan kamar kami, menunggu jika sewaktu-waktu kami keluar kamar, mereka akan menyambutnya dengan obrolan ringan.

Ternyata perjuangan mereka dalam mengamalkan ajaran agama ini tidaklah semudah yang saya kira. Ada cerita dulu saat pertama membangun masjid At Taqwa, pemuda gereja berkumpul dan bersiap-siap di lokasi untuk menyatakan protes. Ada diskriminasi dan masih banyak lagi kisah yang membuat kita terenyuh sekaligus terkagum dengan kesabaran mereka. Bahkan sampai sekarang, masjid At Taqwa belum dikeluarkan status resminya.

Dua tahun terakhir ini, dakwah Salaf pun memperoleh penentangan yang lumayan sengit. Darimana lagi kalau bukan dari kalangan Nahdhiyin! Mereka yang khawatir jama’ahnya berkurang, karena kenyataannya banyak yang kemudian berpindah menekuni dakwah Salaf. Mereka berusaha membuat kegiatan tandingan. Jika ikhwan-ikhwan mendatangkan seorang Ustadz, maka mereka pun tak mau kalah dengan mengundang Kyai.

Masjid Raya Baiturrahmah mereka upayakan untuk dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya acara-acara mereka. Termasuk pada kegiatan kita kali ini. Kajian Dua Hari yang diselenggarakan sampai dzuhur, warga muslimat mereka mengadakan kegiatan setelah shalat dzuhur.

Tuduhan teroris dan radikal juga seringkali dihadapi oleh ikhwan-ikhwan kita. Berbagai kisah diceritakan oleh ikhwan-ikhwan yang menjadi anggota TNI, Polri dan PNS. Betapa mereka harus berjuang keras dan bersabar untuk menegakkan dakwah Sunnah. Konsekuensi dari sebuah keimanan yang harus dan pasti dialami oleh siapapun yang berkomitmen di atasnya. Tidak mungkin dihindari.

Hal ini mengingatkan kita bahwa setiap perjuangan dakwah, mau tidak mau akan dihadapkan pada berbagai ujian. Cobaan demi cobaan tidak akan pernah berakhir. Ketika satu rintangan terlewati, jangan dikira sudah selesai. Cobaan berikutnya sudah menanti, bahkan mungkin lebih berat lagi. Hikmahnya? Supaya teruji kesungguhan kita dalam beriman serta meningkatkan kualitas iman itu.

Maka bersabarlah di jalan dakwah! Para Nabi dan Rasul pun mengalami cobaan dalam dakwah mereka.

00000____0000

Tiga hari di Tanah Merah, Boven Digoel, sudah lumayan cukup untuk mengenal lebih dekat. Fasilitas perkantoran yang lengkap walaupun sederhana, Rumah Sakit type D, Kantor Bank beserta ATM-nya, Kantor Polisi dan Militer, pasar, rumah makan, penginapan, PLN, SPBU bahkan pelabuhan sungai dan Bandar udara.

 Di pedalaman Papua, Tanah Merah menjadi sebuah kota kecil yang sedang berbenah.

Dalam beberapa saat yang singkat, kami sempat dibawa berkeliling di lokasi-lokasi unik Tanah Merah. Deretan bangunan berpagar keliling, tinggi dan berkawat yang disebut dengan penjara Boven Digoel masih bisa disaksikan. Sebuah bunker bawah tanah dan kamar kurungan berukuran 1x1 meter, yang dulu menjadi tempat Bung Hatta diasingkan sempat saya masuki. Ruang tahanan dengan kakus yang berada di ruangan yang sama. Tidak terbayang betapa kejamnya Belanda.

Sungai Digoel yang lebar memanjang sampai bermuara di Bade memang nampak ganas. Aliran airnya deras. Mengalir membelah hutan. Sungai yang terkenal didalam sejarah sebagai penjara alam karena banyaknya populasi buaya. Namun, dalam rentangan waktu, sungai Digoel menjadi jalur transportasi. Seperti kapal barang yang saya saksikan sedang bersandar di pelabuhan sungai Digoel. Kapal itu datang dari Surabaya.

Kami juga dibawa untuk menyaksikan rumah pohon milik suku Kombay Koroway. Rumah kayu yang dibangun di atas beberapa pohon yang saling berdekatan. Tingginya kurang lebih sepuluh meter. Diatas rumah itulah mereka tinggal. Saya dipersilahkan untuk naik sampai keatas. Tangga yang tinggi, anak tangga yang kecil lagi bergoyang membuat naik dan turunnya menjadikan keringat bercucuran.

Akhirnya, rangkaian kegiatan selama tiga hari di Boven Digoel selesai.

Setelah shalat dzuhur dan makan siang, perjalanan harus dilanjutkan menuju Asiki, letaknya kurang lebih 80 km dari Tanah Merah, Boven Digoel.

Perpisahan itu terasa begitu mengharukan. Ucapan dalam nada memohon untuk suatu saat nanti bisa kembali mengunjungi mereka, seakan tidak ada habisnya. Entahlah saudaraku, memang sejak pertama tiba di Boven Digoel, semilir anginnya yang sejuk alami seolah membisikkan ketenangan. Dari dalam hatipun terbesit, semoga suatu saat nanti ada lagi kesempatan untuk kembali ke Boven Digoel.

Besar harapan semoga dakwah Salafiyyah tegak kokoh di atas bumi Boven Digoel. Marilah saling mendoakan supaya selalu istiqomah. Sebab, istiqomah harus menjadi cita-cita terbesar kita. Rugi dan sangat rugi, jika kebaikan yang sudah tumbuh dan mekar bersemi di Boven Digoel tidak kemudian disirami dengan istiqomah. Jagalah dakwah Salafiyyah ini, lebih dari usaha kita untuk menjaga diri sendiri. Perjuangkanlah dakwah ini dengan ikhlas. Ikhlas untuk Alloh.

Semoga gaung dan gema dakwah Salafiyyah di bumi Boven Digoel menjadi gaung dan gema yang membahana. Mengalun dengan nada yang indah dan irama yang merdu. Semerdu dan seindah suara adzan shalat ashar yang dikumandangkan oleh Bapak Wakapolres Boven Digoel di masjid Raya Baiturrahmah sore itu.


Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Boven Digoel
Senin 28 Maret 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 11 )


Berbeda dengan perjalanan ketika berangkat menuju Tanah Merah yang membelah gelap gulitanya malam. Perjalanan meninggalkan Boven Digoel menuju kampung Asiki di distrik Jair, kami lakukan di siang hari. Terlihatlah dengan jelas, sebuah panorama alam dari hutan yang menghijau, terbentang luas antara Tanah Merah, Ibukota Kabupaten Boven Digoel sampai ke distrik Jair.

Sepertinya semalam hujan lebat. Sementara jalur Trans Papua yang beberapa bulan kemarin mulai diaspal ternyata belum semuanya kelar. Sehingga beberapa ruas jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Boven Digoel masih dalam bentuknya yang asli. Jalan tanah merah, liat lagi licin.

Ada banyak aliran anak sungai dan cabang-cabangnya yang bersinggungan dengan jalur Trans Papua. Nah, pada jembatan-jembatan penghubung yang hanya terbuat dari konstruksi batang-batang pohon yang kemudian ditimbun tanah, seringkali menjadi problem tersendiri. Jika hujan turun, maka aliran sungai membludak. Jembatan-jembatan sederhana tadipun berubah menjadi kubangan kolam, campuran air dan tanah.

Jangan dibayangkan seperti tanah di Lendah! Tanah disini benar-benar super licin. Roda mobil harus dimodifikasi sedemikian rupa. Selain dipasang roda cakar, beberapa mobil menambahkan untaian rantai di seputaran ban. Mobil-mobil yang melintas betul-betul berubah bentuknya. Bodi dinaikkan dengan ban ukuran tinggi. Masih ditambah lagi sebagai upaya berjaga-jaga, di bagian depan dipasang sling, yakni kawat kabel yang nanti bisa digunakan untuk menarik body mobil jika sewaktu-waktu terpatri dalam kubangan lumpur.
Betul-betul lebih dari sekedar offroad!
Sekarang saya baru paham akan maksud dari cerita ikhwan-ikhwan yang telah lama menetap di Boven Digoel, selama bertahun-tahun.

"Ustadz, kalau zaman dulu ketika kita ada berangkat ke Merauke, terkadang ada sampai satu bulan. Karena kalau sudah ada truk yang masuk di kubangan, itu pertanda kalau kita harus menginap ditengah hutan”.

Tetapi Ahamdulillah, semenjak proyek Trans Papua mulai dikerjakan, cerita-cerita “mengenaskan” seperti itu hampir tidak ada lagi.

Kami sempat berhenti di atas jembatan sungai Kao. Sungai yang tidak kalah lebarnya dengan sungai Digoel. Jika dari atas pesawat kemarin kami hanya bisa melihat sungai beserta cabang-cabangnya yang meliuk-liuk, kini di atas jembatannya kami seakan telah menjadi bagian dari sungai tersebut. Subhanallah .... sebuah penampakan pemandangan alam yang penuh pesona, serasa berada dialam surga. Meskipun tentunya sungai-sungai yang mengalir di bawah surga jauh lebih indah.

"Allahumma, kami memohon kepada-Mu untuk memasukkan kami kedalam surga-Mu".

Tiba-tiba ada sebuah antrian panjang kendaraan yang kami temui. Ada apakah gerangan? Lampu bangjo kah? Tentu saja bukan. Apalagi kalau bukan kubangan lumpur di lokasi jembatan. Pertanda akan bertambah lama perjalanan ini. Sebuah truk yang sebenarnya sudah antri lebih dulu untuk melintas, akhirnya harus mengalah. Mobil-mobil didahulukan. Alhamdulillah mobil yang kami naiki telah dilengkapi ban cakar dengan sistem 4WD, matic dipadukan dengan manual. Baru dibeli, lagi!

Tiba di lokasi yang dituju, hujan lebat lagi-lagi mengguyur bumi. Semakin menambah kesan perjalanan ini, benar-benar menjadi sebuah pengalaman hidup yang luar biasa!

"Allahumma shayyiban naa-fi’an, Ya Allah kami memohon hujan yang bermanfaat dari-Mu".

00000_____0000

Distrik Jair, merupakan salah satu Distrik di Kabupaten Boven Digoel, terdiri dari beberapa kampung. Salah satu diantaranya tersebutlah kampung Asiki. Nah, perjalanan kami selanjutnya akan terfokus di kampung Asiki ini. Di sana, terdapat sebuah perusahaan dengan beberapa anak cabang yang beroperasi. Dikenal dengan sebutan PT Korindo. Perusahaan tersebut menjadi bagian terbesar dalam hal pengolahan hasil alam di Boven Digoel.

CPO (Crudle Palm Oil) adalah lokasi pengolahan minyak sawit mentah. Berdampingan dengan pabrik dan hanya dipisahkan oleh pagar kawat, disitulah perumahan para karyawan didirikan. Karena terkena aturan ISPO, perumahan tersebut harus dipindah-lokasikan.

Kajian Islam Lendah, [30.03.16 05:42]
Berdampingan dengan lokasi pabrik, menyebabkan polusi udara, bau, suara dan limbah dinilai sangat mengganggu kehidupan para karyawan.
Dari seratusan lebih unit rumah, ada beberapa keluarga yang telah aktif mengikuti kajian Salaf. Di sanalah kami pertama kali singgah setelah meninggalkan Tanah Merah.

Kajian bakda Maghrib diselenggarakan di masjid milik perusahaan. Bakda Isya dilanjutkan sejenak dan ditutup dengan tanya jawab.

Selanjutnya menuju Camp 19. Sebuah lokasi perkantoran untuk CPO sekaligus sebagai lokasi perumahan karyawan.

Berjarak tiga kilometer dari CPO, pagi harinya kami diundang untuk menikmati jamuan sarapan yang telah disiapkan oleh Abu Ammar, seorang ikhwan Mataram yang bertugas sebagai security perusahaan. Selain Abu Ammar, masih ada dua ikhwan lainnya yang menetap di Camp 19. Untuk sampai di Camp 19, kami harus melewati lebatnya perkebunan sawit.

Ikhwan Salafy paling banyak berada di Mess Staf Asiki. Jaraknya kurang lebih 20 km dari CPO. Di pusat Asiki inilah anak perusahaan PT Korindo yang bernama PT Korindo Abadi yang bergerak di bidang Plywood beroperasi. Truk-truk ukuran besar dengan desain yang sudah disesuaikan dengan kondisi alam nampak berseliweran untuk mensuplay kayu-kayu glondongan yang panjang dan besar.

Setelah diolah menjadi tripleks kemudian diekspor ke luar negeri. Negara-negara Timur Tengah yang menjadi konsumen utama. Melalui jalur sungai, hasil produksi tripleks tersebut dibawa dengan menggunakan kapal-kapal tongkang. Setelah perjalanan dua malam, tongkang-tongkang pembawa tripleks itupun tiba di Muara Bade Silam. Di sana, kapal-kapal besar pengangkut telah siap menanti untuk berlayar membawa tripleks tadi menuju negara tujuan.

Jika dihitung, terdapat lebih dari tiga puluh keluarga Salafy yang bekerja di Asiki. Baik dari CPO, Camp 19, Mess Staf Asiki maupun Camp-Camp lainnya.

Subhaanallah! Lagi-lagi kita di hadapkan pada fenomena yang cukup menakjubkan. Disini, di sebuah lokasi yang terselip di lebatnya hutan belantara Papua. Jauh dari ibukota. Berjarak sekitar 30 km dengan perbatasan Papua New Guinea. Telah menyala terang cahaya dakwah Salafiyyah. Ada komitmen untuk mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah. Padahal tidak ada seorangpun Ustadz yang menetap di dekat mereka.

Ah, rasa-rasanya selama ini kebanyakan dari kita memang benar-benar masih kurang bersyukur dengan keberadaan Ustadz di sekitar kita. Rasa-rasanya kita untuk kesekian kalinya telah dibuat malu oleh mereka-mereka yang mempunyai keinginan kuat untuk thalabul ilmi, meskipun dengan berbagai keterbatasan yang ada pada mereka.


Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Mess Staf Asiki
Senin Malam
28 Maret 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 12 )


Tidak perlu disesali terlalu mendalam. Jangan lagi berandai-andai untuk segala sesuatu yang sudah terjadi. Biarlah berlalu apa yang mesti berlalu. Peristiwa itu, kita jadikan saja sebagai dasar pokok untuk merajut rencana yang lebih terarah menapaki masa depan. Walaupun menyesakkan dada, meskipun teramat pahit dirasa. Tetapi biarlah saja, sudahlah. Sekarang, yang perlu dilakukan adalah memperbanyak taubat dan istighfar, jadikanlah sejarah masa lalu sebagai pijakan untuk memperbaiki diri serta menata kehidupan yang lebih baik.

 Semangat setinggi apapun, jika dibangun di atas kejahilan memang hanya akan melahirkan penyesalan. Sekedar niat baik saja, meskipun sudah diiringi dengan tekad yang kuat, namun jika semuanya tidak dibimbing dengan ilmu, pada akhirnya hanya akan menimbulkan luka. Luka yang sulit terobatkan. Walaupun mungkin kelihatannya sembuh, namun ternyata bekas-bekasnya tetap saja sulit untuk dihilangkan. Atau bahkan bisa jadi masih menyimpan sabagian rasa sakitnya. Yang terpenting jangan lagi menumpuk luka dengan luka. Cukuplah luka itu tergores sekali saja. Sekarang marilah taburi dan balut luka itu dengan karya terbaik yang kita bisa.

Menyimak cerita masa lalu dakwah Salafiyyah di Asiki, barangkali dua paragraf di atas bisa saya titipkan untuk mereka. Atau untuk siapapun yang pernah mengalami hal serupa.

Saat menyebut dakwah di Asiki, artinya meliputi dakwah di CPO, Camp 19, Mess Staff Asiki dan sekitarnya.

Semangat beragama yang dipunya beberapa ikhwan (bertahun-tahun yang lalu), ternyata harus melalui lika-liku yang panjang. Episode pertama mereka dimulai ketika bahtera dakwah dikendalikan oleh da'i dari Wahdah Islamiyyah yang berpusat di Makassar. Wahdah Islamiyyah sendiri merupakan sebuah kelompok hizbiyyah yang dalam sejarahnya tidak lepas dari paham pergerakan dan harakah. Kelompok yang pemahaman dan amaliyahnya sangat tidak sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Kasar, Kaku dan Keras. Tiga K ini mungkin sangatlah tepat untuk menggambarkan implementasi dakwah mereka di Asiki. Sama sekali tidak didapati padanya sikap bijak dan sangat jauh dari sifat hikmah. Frontal dan tidak mengedepankan skala prioritas di dalam dakwah. Hasilnya? Hanya melahirkan berbagai penentangan dan permusuhan.

Bayangkan! Beberapa ikhwan yang dulu pernah aktif belajar bela diri di berbagai perguruan silat, pada suatu hari diperintahkan untuk memusnahkan atribut-atribut perguruan. Tetapi permasalahannya bukan itu.

Sabuk dan atribut perguruan tersebut dikumpulkan lalu serta merta dibakar di halaman belakang masjid, di siang bolong dan disaksikan orang-orang.
Walaupun kita juga tahu bahwa atribut dan proses dalam sebuah perguruan silat tidak lepas dari pelanggaran syariat. Namun apakah bijak jika kemudian harus membakar atribut dan seragam di hadapan orang? Benar-benar menantang. Seolah mengajak berperang.

Dan benar saja.  Anggota-anggota dari beberapa perguruan tersulut emosinya, diprovokasi dan dikondisikan untuk memburu dan menangkap Ustadz dari Wahdah Islamiyyah tersebut.

Perlu diketahui, kala itu keberadaan perguruan silat di Asiki cukup diminati oleh masyarakat. Perguruan-perguruan tersebut berasal dan dibawa dari Jawa.

Apa yang terjadi kemudian? Hubungan kemasyarakatan terkoyak. Situasi memanas. Urat nadi meradang. Semua bersiap tampil membela siapa yang ingin dibela. Kemuliaan dakwah salafiyyah harus tercoreng oleh sebuah kecerobohan, tindakan ngawur yang tanpa perhitungan.

Untunglah pihak-pihak yang berwenang waktu itu cukup sigap untuk menangani kasus tersebut. Sehingga kondisi yang ada tidak berlarut-larut. Ustadz yang berasal dari Wahdah Islamiyyah itu akhirnya diminta untuk segera meninggalkan Asiki.

Namun, sejarah telah tercipta. Terpatri dalam benak-benak mereka. Dan luka itu terlanjur menganga.

Kisah lika-liku dakwah Salafiyyah pun terus berlanjut. Merangkai peristiwa demi peristiwa. Begitu dramatisnya mereka bercerita. Mencurahkan apa yang lama tersimpan didalam jiwa.

Kini, dengan bimbingan Ustadz Shadiqun Ambon dan Asatidzah lainnya, pola dan gerak dakwah mulai tertata. Kunjungan dan silaturahmi kemasyarakatan dihidupkan.
Diantara hasilnya -walhamdulillah-, hari ini kami dipersilahkan untuk menggunakan masjid An Nuur, masjid milik perusahaan Korindo. Walaupun hanya sekali ini dan dengan durasi waktu yang teramat singkat, namun setidaknya kajian selepas shalat Isya’ malam ini semoga menjadi pembuka pintu kebaikan.

Baru sekali ini, ikhwan-ikhwan dipersilahkan untuk memakai fasilitas masjid An Nuur. Ramah tamah bersama pengurus masjid semoga bisa sedikit menghapuskan rasa sakit dari luka lama. Mempresentasikan tatacara dan hakikat dakwah salafiyyah yang sebenarnya.

Cerita lain datang dari Camp Tunas. Masih dalam wilayah kerja PT Korindo. Letak Camp Tunas kira-kira 70 km dari pusat Asiki. Lokasinya semakin mendekat keperbatasan Papua New Guinea. Dulu lokasi Camp Tunas dan sekitarnya tidak kalah mencekam. Pasukan OPM sering berkeliaran dan beraksi disekitar lokasi ini. Teror demi teror dilancarkan. Termasuk  terjadinya peristiwa penyanderaan karyawan PT Korindo beberapa waktu yang lalu.

Ada lagi kisah tentang seorang teman kita. Saat dulu bertugas sebagai Mantri Kesehatan di Camp Tunas, Abu Asyraf namanya. Beliau sangat dikenal baik oleh masyarakat sekitar. Bahkan diantara bukti baiknya beliau dalam bermasyarakat, saat kami berkunjung ke sana, istri dari seorang kepala kampung pedalaman langsung menyambut dan memberi isyarat ke arah Abu Asyraf, sambil mengatakan kepada kami : "Ini kita punya anak”.

Tetapi ada beberapa oknum pengurus masjid yang sangat membenci Abu Asyraf, karena beliau berkomitmen untuk mengamalkan Al Qur’an dan As Sunnah dalam hidup keseharian. Mereka melakukan berbagai cara untuk menjelek-jelekkan Abu Asyraf. Puncaknya, Abu Asyraf didudukkan di hadapan pengurus masjid dan beberapa tokoh masyarakat serta perwakilan dari Satgas Pamtas TNI yang sedang bertugas di Camp Tunas.

“Tidak perlu dua puluh. Cukup kalian kumpulkan tanda tangan sepuluh orang saja, saya akan angkat kaki dari Camp ini!”, tegas Abu Asyraf di hadapan mereka.

Rupanya, mereka mengancam untuk mengusir Abu Asyraf. Dengan modal mengumpulkan dua puluh tanda tangan dari masyarakat setempat, yang berjumlah kurang lebih 400 KK.

Setelah diupayakan. Nyatanya hanya tanda tangan lima orang saja yang bisa mereka dapatkan. Itupun hanya oknum-oknum di atas tadi.

Nah, apa kira-kira rahasianya sampai bisa seperti itu, sampai Abu Asyraf disaat genting waktu itu mendapatkan pembelaan dari masyarakatnya?
Ternyata komunikasi yang baik dengan masyarakat. Hidup bersosial dengan maksimal. Tata krama dan adab kesopanan yang selalu dijaga.

Sebagai seorang mantri kesehatan, Abu Asyraf sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Membantu, menolong dan melayani dengan baik adalah visi misi Abu Asyraf. Bayangkan, selama 14 tahun bertugas di Camp Tunas, sudah berapa banyak kasus yang ditangani Abu Asyraf. Sebuah tuntutan Dinas di pedalaman Papua.

Apapun dan bagaimanapun cerita masa lalu itu, perjalanan dakwah Salafiyyah di Asiki dan sekitarnya sekarang ini sedang memasuki fase baru. Sebuah tahapan yang mudah-mudahan menjadi ruang pembuka untuk penyebaran dakwah di masa yang akan datang.

Kita memang perlu banyak belajar. Belajar teori, dan yang terpenting lagi adalah belajar dari pengalaman bagaimana meng-aplikasikan ilmu di tengah masyarakat.

Sejak siang, sore sampai malam larut, kami duduk bersama untuk menyusun rencana dakwah kedepan. Entahlah bagaimana nanti hasilnya, kita hanya bisa menyerahkan penuh kepada Allah. Kita hanya bisa berusaha dan berupaya sebatas kemampuan. Program sosialisasi dengan hikmah. Yang tidak hanya untuk dilaksanakan ikhwan-ikhwan, namun juga melibatkan ummahat turut pula dibahas. Semoga Allah memudahkan langkah mereka.


Saudaramu di jalan Allah

 Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Simpang Sawit, Asiki
30 Maret 2016
(Kangen Lendah)

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 13 )



 Saya sempat mengajukan pertanyaan kepada ikhwan Asiki tentang kegiatan taklim yang selama ini telah diselenggarakan secara rutin. Ternyata, kebelumadaan ustadz yang menetap, membuat mereka harus cerdas untuk menemukan solusi. Kajian via telepon akhirnya menjadi jalan keluar.

 Kajian via telpon dilakukan dua kali dalam sepekan. Senin malam Selasa di Mess Staf Asiki dan Rabu malam Kamis di CPO. Bersama Ustadz Abdul Aziz Hafidzahulloh dari Sorong, mereka terus bersemangat dalam mengaji. Kitab Arba'in Nawawi mereka upayakan untuk dihafalkan dengan bimbingan ustadz Abdul Aziz. Meskipun hanya via telepon.

 Untuk kajian bulanan, setiap hari Ahad pekan pertama, mereka juga melangsungkan kajian via telepon dengan Ustadz pembimbing yang dipilih secara bergantian.

Bisakah kita membayangkannya? Mereka, dengan jumlah yang tidak sebanyak kita di Lendah, berasal dari beberapa distrik yang berbeda, lalu duduk berkumpul untuk ngaji. Mereka duduk dengan buku dan alat tulis. Menggunakan meja kecil, lalu dengan serius mencatat tanpa berhadapan langsung dengan sang Ustadz. Hanya dengan mendengar suara, kadang jelas kadang samar-samar, terkadang putus-putus. Tergantung signal jaringan telekomunikasi.

 Majalah-majalah yang dikelola oleh Salafiyyin Alhamdulillah sudah bisa sampai di Asiki, merekapun berlangganan. Untuk mengikuti perkembangan  kekinian, mereka upayakan dengan cara mendownload dari website Salafiyyin, kemudian mereka menerbitkan buletin. Terkait pendidikan anak-anak usia dini, mereka mengelolanya sendiri, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada. Karena mereka yakin bahwa program pendidikan, walaupun dikemas sangat sederhana, asalkan dikonsep di atas Al Qur’an dan As Sunnah, masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pendidikan yang penuh fasilitas, namun akhirnya menjauhkan anak dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Beberapa anak yang sudah menginjak masa remaja, dititipkan di pondok-pondok Salafiyyin. Ada beberapa anak yang mondok di Ma’had Maros Sulawesi Selatan, ada pula yang di Ma’had Al Bayyinah Gresik. Kesemuanya itu sebagai usaha didalam bersyukur kepada Allah dengan mengarahkan anak-anak mereka supaya bisa mempelajari Islam dengan benar, yakni menanamkan pendidikan agama sedini mungkin.

Ketiadaan ustadz yang menetap, pastinya menjadi kendala tersendiri dalam keberlangsungan dakwah. Namun,  keberadaan ustadz juga bukan menjadi jaminan kemudian bisa terbebas dari kendala dalam dakwah.

Kapan dan dimanapun, yang namanya menegakkan dakwah Salafiyyah pasti akan dihadapkan dengan berbagai macam kendala. Itu sudah pasti dan tidak bisa dihindari.
Karena untuk menguji seberapa besar kesabaran seorang hamba mengemban amanah dakwah. Sebesar apa nilai ketulusannya untuk berjuang di jalan Allah. Kesabaran itu dinilai dengan ketegaran kita ketika menghadapi kendala yang ada.

Namun, yakinlah bahwa ujian demi ujian itu sudah disesuaikan dengan tebal tipisnya iman. Semakin kuat keimanan seseorang, akan bertambah berat pula ujiannya. Dengan tetap istiqomah dan ikhlas, pahala yang diperolehpun akan semakin besar.

00000_____00000

“Sudah? Kasih nama As Sunnah saja!”, pesan Ustadz Shadiqun kepada pakdhe Yoyok.

Pesan itu disampaikan terkait dengan penamaan sebuah masjid sederhana yang dibangun oleh Pakdhe Yoyok sekeluarga. Masjid itu letaknya masih didalam lokasi perusahaan Korindo Asiki, namun statusnya milik pakdhe Yoyok. Semula, masjid itu dinamakan Masjid Umar bin Khatab. Namun, mengikuti nasehat dari Ustadz Shadiqun, masjid itu pun kemudian diganti nama menjadi Masjid As Sunnah.
Posisinya sangat strategis. Walaupun berada di tengah hutan, namun lokasinya berada di samping perempatan jalan yang mengubungkan jalur Merauke-Boven Digoel dan camp-camp sekitar perkebunan sawit.
Bangunan masjid itu berada di luar area perumahan ikhwan-ikhwan. Harapannya kelak bisa menjadi sebuah tempat untuk pusat koordinasi dakwah di Asiki.

Kajian Islam Lendah, [01.04.16 11:46]
Posisi masjid juga berada salah satu jalur yang menghubungkan Indonesia dengan Papua New Guinea. Ada Pasar Bastop yang mempertemukan para penjual dan pembeli dari kedua negara. Jaraknya hanya beberapa kilometer saja dari masjid Pakdhe Yoyok.

Kami sempat sejenak mengunjungi lokasi pasar yang berada di tepi rawa-rawa itu. Di sana juga terdapat sebuah pos TNI yang dibangun untuk pengamanan perbatasan.
Pasar kecil yang hanya ada sekitar sepuluh lapak itu ternyata beromset besar. Masyarakat Papua New Guinea datang untuk menjual hasil tangkapan laut, sungai dan hasil buruan di hutan. Hasil penjualan digunakan untuk membeli sembako dan barang kebutuhan rumah tangga dari warga Indonesia.

Beromset besar?
Coba dihitung kasar saja. Sebagai contoh harga gelembung ikan Kakap Emas, tiap satu ons bernilai sekitar empat juta rupiah. Jika sekilo saja, berartikan sudah empat puluh juta? Sementara tentunya banyak kilo yang dibawa kepasar itu. Dan bukan gelembung ikan kakap saja, berbagai macam ikan diperjualbelikan. Pokoknya, jika tidak menyaksikan sendiri, barangkali kita tidak akan pernah percaya kalau terdapat sebuah pasar kecil yang terletak di tengah hutan, di tepi rawa perbatasan.

Di pos TNI itu, kami bertemu dengan seorang anggota Yonif 301/PKS yang ternyata sudah mulai aktif mengikuti kajian.
Masya Allah! Di ujung timur Indonesia, seorang anggota TNI salafy sedang bertugas di perbatasan. Semoga Allah melindunginya dan juga melindungi seluruh anggota TNI lainnya.

Malam Rabu, Pakdhe Yoyok mengundang masyarakat termasuk ikhwan-ikhwan dari beberapa camp perusahaan. Turut diundang juga anggota TNI yang sedang bertugas di perbatasan. Alhamdulillah, undangan dalam rangka peresmian masjid tersebut disambut positif. Saya dan Ustadz Ayip yang diminta untuk memberikan Tausiyah, bisa merasakan hangatnya suasana malam itu. Termasuk hadir juga beberapa personil Kopassus yang baru sepekan bertugas.

Acara makan bersama setelah pengajian malam itu, mudah-mudahan menjadi salah satu titik maju untuk perkembangan dakwah Salafiyyah di Asiki.



Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Merauke,
Malam Kamis
30 Maret 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 14 )


“Alhamdulillah sudah tiba kembali di Merauke. Berangkat dari Asiki jam sepuluh pagi, sampai di Merauke jam setengah delapan malam. Saat tiba pertama dari Jogja, Merauke terasa kecil seperti sebuah desa. Setelah sepekan di pedalaman, sekarang Merauke rasanya seperti Ibukota Indonesia”

 Begitulah bunyi pesan whatsapp yang saya kirimkan kepada keluarga sebagai bentuk perhatian sekaligus penawar kerinduan. Juga saya kirimkan kepada beberapa teman sekedar bertegur sapa tanda keakraban.

Perjalanan kembali ke Merauke ternyata jauh lebih extrem bila dibandingkan ketika meninggalkannya, sepekan yang lalu. Laksana sebuah petualangan yang sungguh sangat menegangkan sekaligus mendebarkan. Hujan lebat yang mengguyur selama dua atau tiga hari berturut-turut, membuat jalan raya berubah menjadi hamparan tanah berlumpur.

Dua kali kami terjebak kemacetan panjang kendaraan. Pertama, saat sebuah truk mengalami patah stick as. Dimana posisi truk tersebut diatas jembatan kayu glondongan. Diperparah lagi dengan kondisi jembatan yang dipenuhi lumpur. Solusinya harus membuat jalur baru. Maka pohon-pohonpun mulai ditebangi, dibuat patok-patok penahan di sisi kiri jalan. Batang pohon yang berukuran panjang digunakan sebagai pelintang. Semuanya saling bahu-membahu, bekerjasama. Sampai akhirnya jalan barupun selesai dibuat. Alhamdulillah. Lega. Perjalananpun dilanjutkan dengan penuh sukacita.

Belum genap sepuluh kilometer berjalan. Kemacetan panjang kembali terjadi. Sebuah truk bermuatan besi bangunan terjebak dikubangan lumpur, lagi-lagi diatas jembatan kayu glondongan. Kali ini lebih ironis. Benar-benar bikin mati akal. Mau membuat jalur baru seperti yang tadi, tidak mungkin. Karena area tersebut teramat sempit.

Hmm ..... Masing-masing orang berfikir keras, memutar otak, mencoba merancang dan mencari solusi terbaik. Akan tetapi semua buntu. Tidak ada yang menemukan ide.

Akhirnya hanya bisa pasrah, mau tidak mau harus mengakui bahwa manusia itu lemah. Baru segitu aja sudah menyerah. Cukup lama, berada dalam ketidakpastian. Tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

Tetapi Dia-lah Allah yang senantiasa memberikan kemudahan dan jalan keluar untuk hamba-Nya. Tidak ada yang menyangka, ketika tiba-tiba sekitar dua puluh menit kemudian, sebuah iring-iringan truk trailer milik perusahaan sawit melintas dari arah Merauke. Nah, di atas truk trailer itulah, sebuah eskavator ukuran 200 PC nangkring dengan gagahnya. Semua melihat penuh bahagia. Sebuah harapan baru didepan mata. Hati yang gundah gulana, kini berbunga-bunga. Gegap gempita penuh gelora.

Eskavator diturunkan. Truk yang terjebak didorong maju dengan “belalai”nya. Setelah itu, eskavator bekerja mengambil tanah, memindahkannya untuk menambal lubang beserta kubangan lumpur itu. Perlahan tapi pasti.

Siang itu, kami disuguhi sebuah atraksi spektakuler, prosesi pembuatan jembatan darurat hanya dalam tempo setengah jam. Perjalananpun kembali dilanjutkan, menyusuri jalan berlumpur ditengah hutan belantara.

ooo00---00ooo

Disaat putus asa seorang manusia, ketika hamba benar-benar pasrah tak mampu berbuat apa-apa. Disanalah pertolongan Allah tiba dengan segala keindahannya. Kalau bukan semata-mata pertolongan Allah, sudah pasti kami harus menginap ditengah hutan. Harus merasakan seperti kisah yang kemarin diceritakan ikhwan-ikhwan Asiki. Karena solusinya harus membuat jembatan darurat secara manual, pada area yang sempit. Subhaanallah!
Kejadian tersebut semakin meneguhkan keyakinan bahwa kemudahan itu pasti selalu ada dibalik kesulitan.

Makanya saat kesulitan muncul, janganlah kita bersedih atau berkecil hati. Sebab, kesulitan itu ada justru sebagai penanda bahwa berbagai kemudahan dari Allah akan segera tiba. Apalagi jika kesulitan itu disebabkan meniti jalan dakwah, percayalah bahwa Inna ma’al ‘usri yusran! Di balik setiap kesulitan, pasti ada kemudahan!

Ooooo_____ooooO

Dibandingkan Boven Digoel, usia dakwah Salafiyyah di kota Merauke jauh lebih tua. Disini dakwah Salafiyyah bisa berkembang dengan baik. Ada puluhan keluarga Salafy menetap di Merauke.

Dari berbagai suku, berbagai macam profesi dan berbagai latar belakang, mereka disatukan oleh manhaj Salaf.

Kota Merauke pernah mendapatkan kunjungan dari beberapa Asatidzah Salafiyyin. Ustadz Muhammad Umar As Sewed Hafidzahulloh pernah menyampaikan muhadharah disini. Juga Ustadz Luqman Ba'Abduh Hafidzahulloh pernah mengisi tabligh akbar. Bukti nyata, bahwa Asatidzah sangat memperhatikan penyebaran dakwah di Indonesia.

Apakah ada Ustadz yang menetap di Merauke?  Dulu pernah ada Ustadz Ali Nurdin. Lalu Ustadz Qosim. Namun barangkali keberadaan beliau berdua lebih dibutuhkan di Jawa, akhirnya hingga sekarang ini masih belum ada Ustadz yang berdomisili disana.

Lantas bagaimana yang dilakukan ikhwan-ikhwan Merauke untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu? Sama seperti di Asiki, mereka mengadakan taklim menggunakan telepon. Sepekan sekali, Ustadz Ali Nurdin dan Ustadz Qosim bergantian menyampaikan materi. Sebuah semangat dan kesabaran yang tinggi yang perlu ditiru!  Pernahkah membayangkan ikhwan-ikhwan di Lendah harus mengadakan kajian seperti itu?
Maka bersyukurlah, saudaraku!

ooo00---00ooo

Kedatangan kami di Merauke telah dinanti ikhwan-ikhwan di masjid yang biasa digunakan untuk taklim. Sekedar silaturahmi dan ramah tamah. Kami dipersilahkan untuk menikmati minuman panas plus camilan kue di rumah Zulkarnaen, seorang ikhwan yang rumahnya berdampingan dengan masjid.

Adapun makan malam sudah kami nikmati sebelum Maghrib, ketika masih dalam perjalanan. Sebelum sampai, kami sempat melihat garis perbatasan Sota, yang merupakan pintu keluar masuk ke Papua New Guinea. Nah, disitulah kami sempat membeli nasi putih plus sambalnya. Adapun lauk, kami sudah dikasih bekal dari Asiki. Ikan mujair ukuran jumbo yang sudah dibakar. Sehingga tawaran makan malam kami tolak dengan halus.

ooo00---00ooo

Ada sebuah peristiwa yang begitu membekas dalam ingatan. Yaitu ketika kami menyusuri jalan lurus yang membelah Taman Nasional Wasur. Sebuah jalan ditangah rawa-rawa. Jalan yang di kanan-kirinya, berdiri kokoh gundukan tanah sebagai rumah-rumah semut Musamus. Rumah-rumah yang dibangun sendiri oleh para semut itu begitu tinggi menjulang, sekitar tiga meteran. Pemandangan itu seakan menjelaskan kepada saya, bahwa selama ada kemauan dan tekad yang kuat, diiringi semangat kebersamaan, sesuatu yang nampaknya sulit diwujudkan bisa menjadi mudah. Jika semut-semut yang kecil itu mampu membuat bangunan rumah yang tinggi dan kokoh, kenapa kita tidak bisa membangun sebuah Perpustakaan di Lendah?
Sekali-lagi, kuncinya adalah tekad yang kuat dan semangat kebersamaan. Insya Alloh ..... KITA BISA !!!


Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Kota Merauke
Kamis Malam
31 Maret 2016
(Dua hari lagi, Insya Allah)

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 15 )


Kami diajak ke Tanah Miring, sebuah lokasi yang berjarak 30-an kilometer dari pusat kota Merauke. Tiga mobil telah disiapkan untuk kami beserta rombongan ikhwan. Rencananya setelah meninjau lokasi tanah wakaf, kami diundang dalam sajian makan siang. Tak ingin melewatkan kesempatan emas, sayapun menawarkan diri untuk menjadi sopir. Test drive di tanah Papua.

Salah seorang tokoh masyarakat di Tanah Miring mewakafkan tanah seluas satu hektar untuk keperluan dakwah Salafiyyah. Untuk dibangun masjid, sarana pendidikan dan berbagai penunjang lainnya. Pak Haji Kasiman, beliaulah bapak tua yang telah beramal jariyyah dengan mewakafkan tanah tersebut.

Waktu mengobrol ringan, Pak Kasiman terlihat begitu mantap bercerita perihal wakaf tersebut. Beliau berasal dari Banyuwangi, namun telah puluhan tahun merantau di Papua. Semangat ngajinya pun luar biasa. Di rumah kediamannya, taklim sering diadakan. Surat kelengkapan alih status wakaf sudah hampir selesai. Walhamdulillah.

Hal ini termasuk salah satu bentuk kemudahan yang dikaruniakan Allah untuk salafiyyin di Merauke. Kita juga harus yakin bahwa dimanapun dan kapanpun, entah bagaimana bentuknya, Allah akan selalu menurunkan pertolongan untuk mereka-mereka yang berjuang di medan dakwah. Tidak usah ragu atau bimbang, asalkan kita serius dan bersungguh-sungguh, Allah pasti memberikan banyak kelapangan.

Ternyata, bukan hanya pak Kasiman saja yang mewakafkan tanah. Beberapa orang lainnya juga tertarik untuk mewakafkan tanahnya demi keberlangsungan dakwah di Merauke. Contohnya ada Pak Haji Bachtiar. Lokasi tanahnya masih di dalam kota Merauke. Kami sempat melihat secara langsung. Dan Masya Allah lokasinya cukup ideal, sangat strategis. Semoga banyak bermanfaat untuk dakwah, sehingga menjadi pahala yang terus mengalir kepada si pewakaf.

Hal-hal semacam di atas sudah semestinya segera ditindaklanjuti. Kemudahan yang Allah berikan, jangan sampai disia-siakan begitu saja. Walaupun kita juga belum tahu dana dari mana yang akan digunakan untuk membangun, namun minimalnya kita harus memberikan respon aktif terhadap pihak-pihak yang terkait. Terutama pihak pewakaf.

 Seringkali kita lengah. Kurang perhatian. Yang hal ini juga saya pilih sebagai bagian dari nasehat untuk ikhwan-ikhwan Merauke. Beberapa masjid milik kaum muslimin yang sudah bisa digunakan untuk kegiatan taklim, seharusnya kita jaga baik-baik. Bagaimana caranya? Banyak yang bisa dilakukan. Misalnya dengan aktif bersilaturahmi kepada takmir masjid, ikut menanggung biaya perawatan masjid, ikut menanggung beban listrik, misalnya. Meskipun terlihat sepele, namun efek dakwahnya luar biasa.

Bukankah kita harus maksimal dalam bersyukur? Mestinya kita peka dan sensitif untuk hal-hal semacam ini. Bisa juga dengan memprogram kerjabakti bersih-bersih masjid dan area sekitarnya, parkir kendaraan dibuat rapi, menyapu lantai, menata rapi inventaris masjid,  mematikan listrik dan kipas angin seusai kegiatan, mengganti lampu masjid yang mati, membersihkan kaca jendela dan lain-lain. Cukup ringan dan sederhana. Tapi jika langkah-langkah ini dilakukan, jangan heran jika aktifitas dakwah yang kita jalankan semakin berkesan dihati masyarakat sekitar, Insya Allah.

Ooooo_____ooooO

Walaupun hanya dua hari, namun kegiatan selama di Merauke terhitung padat. Alhamdulillah antusias ikhwan-ikhwan terlihat jelas. Diantara yang membuat saya terkagum adalah adanya beberapa ikhwan yang hadir dari tempat yang cukup jauh.

“Tiketnya hanya empat ratus ribu rupiah saja, Ustadz”, kata akh Nawir, seorang anggota Polisi aktif di Pulau Kimam.

Pulau Kimam adalah nama lain untuk Pulau Yos Sudarso yang terletak di bagian kaki pulau Nugini. Untuk sampai di Merauke, pesawat menjadi pilihan pertama, daripada perjalanan darat yang jauh. Lagipula harus menyebarang laut. Nawir dan teman-temannya terus mengikuti kajian selama kami di Merauke.

Malam perpisahan, ikhwan-ikhwan menyiapkan acara bakar ikan. Kami berkumpul di rumah salah seorang dari mereka. Mumpung banyak ikhwan yang hadir, maka kesempatan emas itu tidak disia-siakan. Tema perbincangan pun mengarah fokus pada rencana pembangunan sebuah Masjid di Merauke.

 Alhamdulillah, susunan kepanitiaan malam itu terbentuk. Siapa yang menjadi koordinator umum, sekretaris, bendahara dan lain-lain ditunjuk langsung oleh Asatidzah yang hadir.

Jangan anggap itu sebagai beban yang memberatkan. Laksanakan tugas dengan maksimal. Pada saat Anda dipilih untuk terlibat dalam dakwah, sadarilah bahwa Allah telah memberikan kesempatan untuk meraih pahala besar kepadamu.

 Setelahnya, target utama langsung ditentukan. Gambar rencana, minimalnya, siteplan block harus segera dilakukan. Bersama-sama kami mendata keperluan ruang dan lokal apa sajakah yang dibutuhkan. Dan Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar dan baik. Target waktu maksimal juga telah disepakati.

 Tiga bulan lagi, saya atau Ustadz Ayip yang akan menghubungi ikhwan-ikhwan Merauke. Bahkan jika perlu, saya dan Ustadz Ayip sekaligus, yang akan menekan tombol handphone kenomor yang diberikan, untuk kemudian bertanya, ”Apakah gambar siteplan blocknya sudah jadi?”

Karena kita sekarang sedang berpacu dengan waktu. Musuh-musuh Islam tidak pernah diam dan selalu bergerak untuk menghancurkan Islam. Tidak sedetik pun waktu mereka biarkan percuma. Baik musuh dari luar maupun dari dalam. Jika demikian, akankah kita berpangku tangan, terbuai dalam tidur? Kita harus lebih greget, bertekad kuat. Sebelum pihak sebelah membangun gereja lagi, Masjid Ahlus Sunnah harus telah tegak berdiri mendahului.


Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Jayapura
Sabtu dini hari
02 April 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 16 )


Mentari pagi belum begitu tinggi. Ketika pesawat Lion Air membawa kami take off meninggalkan Bandara Mopah Merauke.

Cuaca yang cerah ceria dengan birunya langit. Berhiaskan awan tipis, berarak bagai kapas beterbangan. Sesaat setelah take off, pesona alam Merauke kembali terlihat. Hutan yang membentang hijau, bersambung dengan birunya lautan, bagaikan hamparan permadani raksasa. Kombinasi warna yang serasi. Kesempurnaan sebuah keindahan. Ciptaan Dzat yang Maha Indah.

 Rasanya hanya sesaat saja kami berkumpul dengan ikhwan-ikhwan. Akhirnya tiba juga saat-saat itu. Perpisahan yang begitu berat. Bagaimanapun kami harus melanjutkan perjalanan. Meninggalkan sejuta kenangan. Kelak, pada suatu hari yang akan datang, semoga Allah memudahkan untuk kembali lagi.

 Setelah kurang lebih satu jam, pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Sentani. Kami langsung dijemput oleh akh Ali Hasan beserta mertuanya. Ternyata Bandara Sentani terletak lumayan jauh dari pusat kota Jayapura. Menyusuri jalan raya yang meliuk-liuk, naik turun, mengikuti garis tepi danau Sentani, kami meluncur ke jantung kota.

 Kota Jayapura terletak di tengah lembah. Diapit dan dikelilingi oleh pegunungan tinggi. Posisinya tidak terlalu jauh dari laut sebelah utara Papua. Jayapura yang kini telah menjelma menjadi kota besar.

 Saat mengejar shalat Jum’at di Masjid Raya Jayapura, kami terjebak dalam kemacetan. Aneh juga ada cerita macet di disini. Barangkali karena bertepatan dengan jam pulang sekolah dan kantor. Kami pun akhirnya shalat Jum’at di sebuah masjid besar dipinggiran kota.

 Investasi pembangunan kota Jayapura pasti sangat tinggi. Kondisi alam yang berbukit bergelombang, naik turun gunung, mengharuskan biaya berlipat untuk melengkapi infrastrukur jalan raya. Kini saya telah menyaksikan sendiri, ternyata Jayapura benar-benar sebuah kota besar yang fasiliatasnya terbilang lengkap.

Ooooo_____ooooO

 Ikhwan-ikhwan Jayapura sangat sedikit jumlahnya. Mengalami pasang surut. Hari-hari ini jika mereka berkumpul bersama, tidak akan lebih dari sepuluh orang saja. Sudah sedikit, ditambah lagi jarak rumah mereka yang berjauhan. Semua ini menjadi sebuah masalah yang harus dipikirkan solusinya.

 “Dulu, saat akan menyelenggarakan daurah pertama di tahun 2005, dengan mengundang Ustadz Syafrudin dari Sorong, untuk biaya, kami bergantian berjualan jagung bakar di samping masjid Raya. Tiga bulan kemudian, hasilnya dapat digunakan untuk penyelenggaraan daurah”. Cerita akh Ali Hasan kepada kami.

 Subhaanallah! Sebegitu kuat tekad mereka! Sedemikian besar cita-cita mereka! Keterbatasan tidak dijadikan sebagai alasan. Ketidakmampuan dapat diikhtiarkan menjadi satu kekuatan. Semuanya kembali kepada kemauan. Tentunya setelah pertolongan dari Allah menjadi yang paling utama.

 Apakah pernah terbayangkan oleh kita? Mau mengadakan muhadharah harus bergantian dengan dibuat jadwal bergilir berjualan jagung bakar? Jujur saja, kalau saya tidak bisa membayangkan hal itu. Sekalipun bisa membayangkan, belum tentu mampu melaksanakan. Tentunya teramat pantas jika kita merasa malu kepada mereka!

 Awalnya, sebenarnya tidak ada agenda untuk transit di Jayapura, apalagi sampai menginap. Akan tetapi, Ustadz Shadiqun memberikan banyak pertimbangan supaya Jayapura tidak dilupakan. Bagaimanapun juga, ikhwan-ikhwan Jayapura berhak untuk dikunjungi dan diperhatikan. Lebih-lebih sudah sampai Papua, tentunya sayang kalau tidak sekalian mampir. "Wagu" kalau sekedar lewat tanpa permisi.

 Dakwah Salafiyyah di Jayapura menghadapi sekian permasalahan. Langkah kedepan apakah akan tetap dibiarkan saja, berjalan apa adanya, atau mau disiasati bagaimana, hal ini memerlukan pemikiran yang panjang untuk menjawabnya.

Sejarah dakwah Salafiyyah di Jayapura memang tergolong panjang dengan segenap lika-likunya. Namun, tidak ada alasan untuk berhenti. Tidak boleh menyerah dan putus asa. Harapan harus terus disuburkan.

Kajian Islam Lendah, [03.04.16 05:11]
Ada tiga kesempatan taklim yang bisa dilakukan. Walhamdulillah, Masjid milik Kodam XVII Cenderawasih bisa diloby untuk digunakan sebagai tempat taklim. Masjidnya besar dan luas dengan fasilitas yang lengkap. Jama'ahnya banyak sehingga sangat tepat bila dimanfaatkan. Ustadz Ayip lah yang kemudian menyampaikan Taushiyah selepas shalat Maghrib.

 Malam harinya, bersama beberapa ikhwan yang hadir, kami berbincang tentang realita dakwah yang ada. Dalam suasana santai, ditemani hidangan kwetiaw dan bakso, di rumah seorang ikhwan, kami membahas banyak hal terkait dakwah. Ada banyak peluang yang tergambar dalam perbincangan itu. Nah, itu yang harus dicoba.

 Naik turunnya akses jalan raya di Jayapura, disertai banyaknya tikungan tajam, meliuk-liuk, mengingatkan bahwa jalan dakwah pun demikian. Ada pernak-perniknya, penuh warna-warninya. Akan tetapi, selagi kaki masih bisa tegak berdiri, selagi tangan mampu menggenggam, roda dakwah harus tetap diputar. Tidak boleh berhenti, walau sekejap. Berbagai kendala yang ada tidak boleh melemahkan jiwa. Justru mestinya semakin mendewasakan kita.

 Semoga semalam di Jayapura diberkahi oleh Allah Subhanahuwata'ala. "Ya Allah, istiqamahkanlah derap angkah kami di jalan dakwah. Kobarkanlah semangat kami dan nyalakan tekad yang membara untuk kami. Anugerahkanlah kesabaran, ketegaran dan ketabahan dihati kami. Ya Allah, berikanlah taufik untuk kami agar ikhlas mengharap wajah-Mu”

 Doa ini harus senantiasa dilantunkan dengan keyakinan yang kuat, bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Berdoalah dan yakinlah!


Saudaramu di jalan Allah

 Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Sabtu pagi
02 April 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 17 )


Saya menyebutnya sebagai :
"IDE YANG CERDAS!"

Ide semacam itu mungkin sudah lahir jauh waktu sebelumnya. Saya bahkan yakin bila ide tersebut sudah pernah dicanangkan dan bisa jadi telah dijalankan di tempat lain. Tapi apapun itu keadaannya, yang pasti inovasi-inovasi semacam ini memang perlu sekali untuk dimunculkan.

Dan kini, ide cerdas itu telah direalisasikan juga oleh saudara-saudara kita dan saya sendiri telah menyaksikan benar-benar nyata manfaatnya. Kapan? Ahad kemarin, pada saat saya diminta oleh ikhwan-ikhwan Cikarang untuk menyampaikan materi di masjid Baitul Makmur, Perumahan Telaga Sakinah, Cikarang Barat. Sungguh ketika bisa melihat secara langsung bagaimana ide cerdas itu diwujudkan, kiranya cukup untuk menghapuskan rasa lelah yang ada ketika perjalanan Lendah-Cikarang.

Ide cerdas macam bagaimana pula ini?
Ide itu dinamakan oleh ikhwan-ikhwan Cikarang dengan PLB, singkatan dari Pengelolaan Limbah Bermanfaat. Barangkali jika berta'awun dalam bentuk uang, sebagian ikhwan masih tersisa rasa berat dihati. Namun bila sekedar barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai dirumah, tentu akan jauh lebih ringan untuk disumbangkan.

Mereka dan juga kita, sebenarnya sama-sama sepakat bahwa untuk menggerakkan roda dakwah ini tentunya memerlukan biaya. Operasional dakwah harus ditopang dengan finansial. Seandainya, katakanlah kita ingin merasa cukup dengan kondisi yang sederhana dan biasa-biasa saja. Ya tetap saja sesederhana apapun dan sebiasa bagaimanapun juga memerlukan biaya?

Faktanya, kita masih jauh untuk mencapai tingkatan Abu Bakar As Shidiq Radhiyallohu'anhu yang siap menyerahkan semua hartanya di jalan Allah. Kita juga belum bisa menggapai derajat sebagaimana Utsman bin Affan Radhiyallohu'anhu yang ketika tengah mempersiapkan armada dagang berupa dua ratus ekor unta lengkap dengan barang dagangan di setiap punuknya, kemudian saat mendengar seruan Rasulullah Shallallohu'alaihi wasallam untuk berjuang di jalan Allah, Utsman sertamerta mengatakan : "Semua armada dagang ini saya berikan untuk berjuang di jalan Allah”.

Kita belum sampai kesana. Namun bukankah kita harus mulai belajar dan berlatih? Belajar menjadikan dakwah sebagai prioritas hidup. Berlatih untuk memposisikan dakwah sebagai cita-cita terbesar kita. Kalaupun belum bisa seperti Abu Bakar atau Utsman, paling tidak kita telah bisa melaksanakan perintah Rasulullah Shallallohu'alaihi wasallam : ”Lindungilan dirimu dari siksa neraka, walaupun dengan secuil kurma!”

Kepekaan dan sensitifitas terhadap perjalanan dakwah harus mulai dibangun sebaik-baiknya. Usahlah berpikir : "Paling-paling sudah ada yang menanggung” , ”Masih banyak yang siap membiayai”, atau janganlah kita berpikir bahwa “Segala sesuatunya serba gratis”. Masya Allah saudaraku, harta yang kita peroleh selama ini sebenarnya hanyalah titipan dari Allah Subhanahuwata'ala. Maka pergunakanlah harta itu sesuai dengan kehendak Dzat yang menitipkan.
 Lalu, apa yang sudah kita perbuat untuk dakwah dengan harta kita?

Ooooo_____ooooO

PLB adalah kependekan dari Pengelolaan Limbah Bermanfaat. Program ini mulai digulirkan pada 01 Jumadil Awwal 1437 H, yang bertepatan dengan tanggal 10 Februari 2016. Ikhwan-ikhwan Cikarang memilih langkah ini sebagai kreatifitas usaha demi mewujudkan cita-cita agung yang diungkapkan dalam motto PLB, yaitu :

“Selamatkan Anak-Anak Kaum Muslimin Dari Paham-Paham Menyimpang : Radikalisme, Terorisme dan Komunisme”.

Sayapun berdiri mematung. Termangu memandang banner yang terpampang di lokasi pengumpulan barang-barang bekas. Letaknya berada di pinggiran rel kereta api jurusan Jakarta-Jogjakarta. Lokasi itu menggunakan lahan milik perumahan, bersebelahan dengan area bermain anak-anak Salafiyyin. Sebuah rumah kontrakan yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar anak-anak tepat berada didepan lokasi PLB.

Saya berusaha keras untuk menghubung-hubungkan antara pengolahan barang bekas dengan motto PLB. Apa hubungannya sampah dan barang bekas dengan upaya menyelamatkan anak-anak kaum muslimin dari paham radikalisme, terorisme dan komunisme?

Ternyata ikhwan-ikhwan Cikarang saat ini mempunyai cita-cita besar untuk bisa mandiri. Memiliki tanah dan bangunan sendiri. Tidak mengontrak, bukan sekedar sewa.
Tanah dan bangunan, yang nantinya akan digunakan sebagai sarana pendidikan agama bagi anak-anak kaum muslimin. Harapannya supaya sejak dini anak-anak kaum muslimin telah terbentengi dari paham sesat, dengan mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman Salafus Shalih.

Tetapi, darimana biaya untuk mewujudkan semua impian itu? Maka mereka mempunyai gagasan untuk mengumpulkan dan mengolah barang-barang bekas. Plastik, kayu, besi dan perabot rumah tangga yang sudah tidak terpakai dikumpulkan di area PLB. Ada kulkas rusak, komputer rusak, sepeda rusak, AC rusak bahkan ada juga becak rusak. Walaupun becak rusak itu kemudian diperbaiki untuk dijadikan armada PLB.

 Setiap  hari Sabtu dan Ahad, atas kesadaran sendiri-sendiri, tiap-tiap ikhwan membawa barang-barang bekas itu untuk dikumpulkan di basecamp PLB. Disediakan juga layanan jemput bola. Sebuah mobil colt terbuka dipinjamkan oleh pemiliknya untuk mendukung layanan jemput barang-barang bekas.

Kini, PLB telah berjalan selama sekitar dua bulan. Hasilnya? Wow....... cukup fantastis. Enam juta rupiah! Enam juta rupiah telah terkumpul melalui program PLB.

Sampai kapan kegiatan seperti ini harus dilaksanakan? Estimasi mereka, untuk membeli tanah serta bangunan di atasnya dengan luas 84 m² dibutuhkan biaya sekitar 400 juta rupiah. Jika ditargetkan setiap bulan mempunyai pemasukan satu juta rupiah, maka diperlukan waktu selama 400 bulan. Setara dengan 33 tahun lebih empat bulan. Maka paling tidak 33 tahun yang akan datang, tanah dan rumah dambaan yang akan digunakan sebagai tempat pendidikan akan dimiliki, Insya Allah.
Mudah-mudahan Alloh Subhanahuwata'ala memberkahi jerih payah mereka.

Bisakah anda membayangkan betapa lamanya perjuangan itu? Koordinator PLB pernah mengirim pesan broadcast dikomunitas ikhwan-ikhwan Salafy Cikarang :

”Sudahlah! Tidak usah dipikirkan. Bekerja saja. Nanti biar Allah yang akan mewujudkan!”.

He…he... jadi teringat dengan kita yang di Lendah. Bagaimana jika pengumpulan dana nanti terkadang diberikan bukan dalam bentuk uang. Masing-masing mengumpulkan beras sekilo atau dua kilo kemudian dijual dan diubah dalam bentuk uang. Karena, banyak dari kita yang berprofesi sebagai petani.


Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Lendah, 12 April 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 18 )


Saya mempunyai seorang kenalan di kota X. Sore kemarin, iseng-iseng saya melihat gambar profil di akun media sosial yang dia miliki. Sayapun terkesima sekaligus takjub dibuatnya. Setelah saya perhatikan dengan seksama ternyata gambar profilnya adalah surat pengunduran diri dari sebuah perusahaan tempat dia bekerja selama ini. Surat tersebut ditanda-tangani oleh bagian Personalia.

"......... adalah karyawan pada perusahaan kami, yang bekerja sejak tanggal .............. dan atas permintaannya sendiri yang bersangkutan mengundurkan diri terhitung mulai tanggal .............. Selama menjadi karyawan, yang bersangkutan telah menunaikan tugas dan kewajibannya dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Atas jasa-jasa dan hasil kerja yang baik, perusahaan mengucapkan terima kasih".

Sebentar kemudian sayapun mencoba untuk menghubunginya.

🅰 "Bekher, saudaraku? Terus kegiatan sekarang?"

🅱"Ana sekarang dagang Ustadz. Kuliner di daerah xxxxx. Ana asli dari kota xxxxx. Alhamdulillah sekarang Ana bisa fokus ta'lim tanpa beban."

🅰"Alhamdulillah."

🅱"Ana sering dengar kajian Ustadz. Yang tentang pekerja pabrik, yang sulit sekali mendapat kebebasan. Ana selalu dengar itu, Ustadz. Mungkin ada nasehat buat Ana, Ustadz?"

🅰"Walaupun kecil dan sederhana, alangkah bahagianya hati karena kita adalah pemimpin yang berhak mengatur waktu. Untuk apa jabatan atau pangkat -walau setinggi awan- , sementara kita tetap sebagai bawahan yang harus tunduk dan siap diperintah. Hidup bahagia sebagai entrepenuer!!!
Benar, saudaraku. Kebahagiaan hidup akan saudara raih saat sepenuh kesempatan untuk bersenang-bahagia bersama anak dan istri. Sibuk kerja akan menghalangi kita dari itu."

🅱"Selama Ana kerja, Ana tidak pernah bisa ikut kajian. Alhamdulillah setelah keluar Ana leluasa ikut tanpa beban, seakan, melihat dunia itu ternyata luas.
Perjuangan Ana keluar penuh pengorbanan, Ustadz. Karena Ana keluar dari perusahan tanpa memberi tahu keluarga satupun. Setelah keluar pertentangan keras Ana dapatkan. Ana dikatakan gila, goblok oleh tetangga dan orang sekitar."

🅰"Kebahagiaan hidup pun pasti digapai saat hati sebelum kembali gersang telah disirami kembali dengan ayat qurani dan hadits nabawi. Dan itu hanya dengan berpegang prinsip, "Tiada hari tanpa thalabul ilmi!"

🅱"Ana sampai menangis ketika mendengar kisah yang Ustadz cerita seorang yang berpangkat manajer keluar dan berjualan pentol itu,,, ada juga yang tentang kesibukan para pekerja pekerja pabrik yang kerja dari pagi sampai sore dan begitu seterusnya."

🅰"He...he... Sabar saja dan pandanglah mereka dengan penuh sayang dan kasih. Mereka demikian sebab belum merasakan betapa nikmatnya hidup ini dengan thalabul ilmi. Andai mereka tahu? Tentu mereka berlomba untuk menjadi seperti kita. Andai mereka tahu, pasti kenikmatan yang sudah kita rasakan akan direbut-rebutnya oleh mereka. Jangan benci kepada mereka! Usah mendendam, sebab mereka benar-benar tidak mengetahui."

🅱"Umur Ana sekarang umur 24, Ustadz. Putri Ana 20 bulan. Ana nggak mau kehilangan moment kebersamaan dengan putri Ana, karena selama ini Ana hanya disibukkan dengan kerja, bahkan pas putri Ana lahir, Ana nggak ada di sampingnya, karena lahirnya di luar pulau. Ana waktu itu dalam posisi kerja."

🅰"Masya Allah! Coba bayangkan jika itu berlangsung sekian tahun, sekian belas tahun, bukankah kita akan kehilangan sebuah keindahan hidup. Keindahan canda tawa bersama anak-anak.
Sekarang posisi di mana?"

🅱"Pas Ustadz mengisi di kota xxxxx kemarin, Ana ingin sekali curhat dengan Ustadz, qodarullah Ustadz ternyata sudah duluan pulang pas mau mengisi di kota berikutnya. Ana sekarang mukim di kota xxxxx Ustadz. Semoga suatu saat kita bisa bertemu."

🅰"Amin. Insya Allah, saudaraku. Ana hanya bisa turut mendoakan, "Allahumma, curahkanlah ketenangan dan ketentraman untuk saudaraku Abu Fulanah, di dunia maupun di akhirat. Berikanlah ganti yang jauh lebih baik untuknya karena ia telah meninggalkan sekeping dunia demi meraih nikmatnya thalabul ilmi."

Kajian Islam Lendah, [14.04.16 20:28]
🅱"Amiin. Ana ndak bisa menahan air mata, Ustadz. Untuk menangis. Mereka di luar sana menakut nakuti Ana dengan kemiskinan."

🅰"Jika sungguh-sungguh takut miskin di dunia, mestinya kita harus lebih takut miskin di akhirat. Kata Nabi, banyak orang takut miskin padahal orang miskin akan lebih mudah proses hisabnya pada hari kiamat nanti. Nabi juga bertutur bahwa orang miskin akan lebih dahulu masuk surga lima ratus tahun sebelum orang kaya. Orang miskin yang bagaimana? Orang miskin yang bertakwa. Padahal, apakah kita benar-benar miskin? Ingat, masih banyak yang lebih miskin dari kita."

🅱"Ketakutan kehilangan dunia yg berlebih- berlebihan, padahal hidup bukan mereka yang menjalani.
Jazaakallahu khairan Ustadz atas nasehatnya, menambah semangat Ana untuk tegar dengan semua cobaan."


Percakapan kami sore kemarin akhirnya berujung dengan sebuah salam dan saling doa-mendoakan. Saya kemudian teringat dengan salah seorang saudara kita di Lendah, yaitu Abu Alifan. Setelah tiga belas tahun bekerja di perusahaan Quick, akhirnya per 1 April kemarin resmi di-off-kan. Kenapa? Alasannya sama seperti sahabat saya di atas, untuk mencari ketenangan.

Sahabat saya di atas dan saudara kita Abu Alifan, kini tidak lagi diribetkan oleh jadwal shift bekerja. Tidak lagi terburu-buru, berpacu dengan waktu agar tidak terlambat masuk kerja. Tidak lagi bingung untuk membagi waktu untuk keluarga dan belajar agama. Sebab mereka kini telah berdiri sendiri. Abu Alifan sekarang memilih hidup sebagai petani.

Untuk mereka berdua (teman saya dan Abu Alifan) atau siapa saja yang telah berani mengambil keputusan seperti mereka, terimalah salam hormat saya. Selamat menikmati kebebasan. Kebebasan tanpa batas, kecuali batas-batas syari'at. Semoga Allah Subhanahuwata'ala senantiasa melimpahkan istiqomah untuk kita semua.

Jujur saja, saya sangat salut atas pilihan Anda! Anda hebat. Berani menjadi diri sendiri.



Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Lendah,13 April 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 19 )



Bandar Udara di Manado tak ubahnya dengan bandara-bandara di kota lain. Menara pengawas, gedung terminal, landasan pacu, gerbang barata, radar yang berputar-putar, serta suara dari speaker yang memberikan informasi dan berbagai aktifitas lainnya. Tapi dari sekian hal itu, ada satu yang menarik perhatian saya. Sebuah tulisan yang melekat di dinding atas bandara bagian depan, "Si Tou Timou Tumou Tou”.

Saya sempat menanyakan makna dari kata-kata tersebut, namun jawaban dari ikhwan-ikhwan ternyata berbeda-beda. Ada yang mengatakan artinya adalah kita semua saling bersaudara. Ikhwan lain menyela dan menyatakan artinya adalah selamat datang dan selamat jalan. Arti lain yang disebutkan adalah manusia hidup untuk memanusiakan yang lain. Entahlah, mana yang benar.

Akan tetapi yang pasti dari tulisan dan percakapan kecil itu, mengingatkan saya akan kebesaran Allah Ta'ala yang telah menciptakan bahasa manusia dengan aneka ragam dan macamnya. Kita sendiri tidak akan mungkin bisa memastikan ada berapa macam bahasa yang digunakan oleh manusia di bumi ini. Saya teringat dengan sebuah ayat didalam surat Ar Ruum yang menjelaskan bahwa keaneka-ragaman bahasa merupakan salah satu tanda kebesaran Allah.
Dari sisi apa? Marilah kita terus belajar agama agar mampu menjawabnya.

Sebenarnya sejak awal dihubungi oleh Panitia Penyelenggara Kajian Islam Manado, saya sudah merasa grogi. Karena disana ada Ustadz Adnan Abdul Majid Mampa Hafidzahulloh. Dimana beliau, yang kini menjadi Pembina Dakwah Salafiyyah di Manado, terhitung sebagai sesepuh. Saya masih ingat betul ketika semasa di Yaman, anak-anak remaja termasuk saya, sering meminta nasehat dan bimbingan dari beliau.

Namun, dengan niatan berkunjung guna mempererat ukhuwah, rasa grogi itu berusaha saya lawan.

Benar saja. Ustadz Adnan ikut serta menjemput saya ke Bandara. Bagi saya, Demi Alloh apa yang beliau lakukan ini adalah sebuah pembelajaran tentang praktek nyata sebuah sikap tawadhu. Saya dulu masih ingusan, disaat beliau telah hidup dalam kemuliaan thalabul ilmi.

Pada Jum'at pagi pekan kemarin, saya benar-benar telah memperoleh pelajaran yang sangat berharga, yakni pelajaran tentang sebuah kerendahan hati dari seorang yang sebenarnya jauh lebih pantas untuk saya muliakan. Baarakalloh fik Ustadz. Semoga saya bisa mencontoh keteladanan yang antum berikan.

Tempat yang dipergunakan sebagai lokasi istirahat adalah rumah kediaman Ustadz Adnan. Anggota keluarga beliau “ungsikan”, kemudian rumah tersebut diubah sedemikian rupa menjadi semacam base camp. Beberapa ikhwan yang ditugaskan menemani, ikut menginap di rumah tersebut. Letaknya yang masih terbilang dipusat kota, menjadi wajar saja bila suasana terkesan bising dan ramai.

 ooooo_____ooooo

Sejak dahulu, saya telah memperoleh informasi bahwa Manado termasuk kota yang mayoritas penduduknya kristen. Hal itu ternyata benar. Hampir di setiap sudut kota dan traffict light terdapat bangunan gereja. Belum lagi di sepanjang jalan protokol dan ruas jalan dalam kota. Bisa dikata setiap beberapa ratus meter, berdiri tegak bangunan gereja.

Di beberapa titik, kaum muslimin hidup dengan membentuk wilayah dan komunitas sendiri. Suku Bugis, Makassar dan Gorontalo yang terkenal sebagai pemeluk Islam mengambil peran yang cukup besar hingga terbentuknya kampung-kampung muslim. Tanpa menafikan suku-suku lainnya tentu.

Untuk kota Manado, kini prosentase umat Islam terus meningkat. Dari yang semula minoritas, sekarang ini beranjak sampai sebanding dan seimbang. Adapun wilayah Sulawesi Utara di luar kota Manado, umat Islam tetap terhitung sedikit. Bahkan sangat minoritas.

Nah, di daerah yang semacam itu gambaran kecilnya, dakwah Salafiyyah terus bergeliat. Tidak dapat dipungkiri bahwa gerak laju dakwah Salafiyyah di Manado selalu dikaitkan dengan kembalinya Ustadz Adnan dari negeri Yaman kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Keluarga besar beliau memberikan support dan dukungan. Sebuah keberuntungan dakwah yang besar jika keluarga telah mendukung.

Dakwah Salafiyyah bersinar di tengah-tengah masyarakat kristen yang dominan. Gema dan cahayanya berpendar hingga ke pelosok daerah.

Pulau Sangihe atau pulau Sangir adalah salah satu pulau terluar bagian utara Indonesia. Disana ada ikhwan Salafy. Danau Tondano yang terletak di basis wilayah kristen Minahasa, disana ada sebuah perkampungan kecil umat Islam. Setidaknya ada tiga ikhwan Salafy yang berasal dari sana. Subhaanallah! Dakwah Salafiyyah adalah dakwah penuh barakah. Dakwah yang menjadi impian sekian banyak orang. Bersyukurlah Anda yang telah mengenal dan menekuni dakwah Salafiyyah.

Para peserta Kajian berdatangan dari berbagai penjuru. Barangkali yang terjauh dari Gorontalo. Beberapa puluh ikhwan Salafy dari Gorontalo ikut menginap selama Kajian diselenggarakan. Kata mereka, jarak Manado-Gorontalo kurang lebih 500 Km. Masya Allah! Demi mencari keutamaan ilmu dan demi meraup pahala dari majelis ilmu, perjalanan sejauh itu ditempuh penuh kesabaran oleh mereka. Baarakalloh fihim.

Sebagai bentuk apresiasi saya kepada mereka, di Sabtu sore saya sempatkan untuk mengunjungi lokasi menginap mereka untuk sekadar menyapa dan berbincang-bincang ringan. Sungguh bahagia dan terharu rasanya ketika bisa bercakap-cakap dengan mereka, yang secara nyata telah “memberi nasehat” untuk kita tentang "perjuangan yang sebenarnya" dalam menuntut ilmu agama. Sedih rasanya jika melihat mereka yang jaraknya dari majlis ilmu hanya sekilo, dua kilo atau lima kilometer, lalu tidak tergugah untuk menghadirinya.

 Kota Bitung juga menyumbang jumlah peserta yang lumayan. Ikhwan-ikhwan dari Kotamobagu, saya sempat berkenalan dengan beberapa dari mereka. Seorang dokter yang bertugas di RS Amurang, sebuah daerah di Minahasa Selatan, saya minta untuk menemani. Kenapa? Ternyata Dokter tersebut dahulu kuliah di UNS Solo, sehingga saya dan beliau sudah saling kenal cukup dekat. Kami disatukan oleh kajian-kajian Salafy.

Selama tiga hari dalam kebersamaan bersama ikhwan-ikhwan Manado dan sekitarnya, ada sebuah kesimpulan sederhana yang dapat saya tangkap. Yaitu derap laju dakwah Salafiyyah terus bergerak dan berkembang. Ditengah kehausan dan kekeringan spriritual kaum muslimin, dakwah Salafiyyah seakan menjadi tetesan-tetesan air yang menyegarkan.

Oleh sebab itu, marilah segera bergabung dalam pengembangan dakwah Salafiyyah dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing.

Sedih rasanya jika permintaan Kajian dari beberapa tempat akhirnya ditolak. Bukan karena tidak mau. Tetapi waktu yang benar-benar padat. Sedih juga rasanya pada saat permohonan khutbah Jum'at tidak dapat dipenuhi. Kenapa? Karena kita kekurangan tenaga.

Sungguh ada harapan besar untuk anak-anak kita yang kini sedang belajar di pesantren-pesantren Salafy. Mudah-mudahan Allah membimbing mereka sehingga ke depannya nanti menjadi para pejuang tangguh di medan dakwah.

Anda punya anak di pesantren? Tolong jaga mereka. Bimbing mereka. Pacu dan motivasi mereka dalam belajar. Jalinlah komunikasi sebaik-baiknya dengan anak Anda. Perkuat hubungan hati antara Anda dengan anak Anda. Panjatkanlah doa-doa kebaikan untuk mereka. Jangan menunggu saat anak Anda bermasalah, baru kemudian Anda berdoa. Baru kemudian Anda bertanya, ”Ustadz, bagaimana cara membangun komunikasi dengan anak?”



Saudaramu dijalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

20 April 2016
Lendah Kulonprogo

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Selengkapnya baca di:
https://telegram.me/kajianislamlendah
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

KOMENTAR

BLOGGER
Nama

Adab-Akhlak,230,Akhirat,22,Akhwat,107,Anak Muda dan Salaf,220,Anti Teroris,2,Aqidah,276,Arab Saudi,12,Asma wa Shifat,2,Audio,44,Audio Singkat,8,Bantahan,103,Bid'ah,59,Biografi,85,Cerita,62,Cinta,10,Dakwah,43,Doa Dzikir,64,Ebook,15,Fadhilah,68,Faedah Ringkas,17,Fatwa Ringkas,4,Fiqih,337,Ghaib,16,Hadits,167,Haji-Umroh,15,Hari Jumat,31,Hari Raya,3,Ibadah,43,Info,79,Inspiratif,37,IT,10,Janaiz,7,Kata Mutiara,128,Keluarga,234,Khawarij,21,Khutbah,4,Kisah,279,Kitab,6,Kontemporer,152,Manhaj,175,Muamalah,46,Nabi,19,Nasehat,621,Poster,7,Puasa,53,Qurban,18,Ramadhan,51,Rekaman,2,Remaja,152,Renungan,92,Ringkasan,100,Sahabat,68,Sehat,26,Sejarah,50,Serial,3,Shalat,154,Syiah,25,Syirik,14,Tafsir,47,Tanya Jawab,586,Tauhid,52,Tazkiyatun Nafs,105,Teman,20,Thaharah,21,Thalabul Ilmi,142,Tweet Ulama,6,Ulama,84,Ustadz Menjawab,9,Video,20,Zakat,10,
ltr
item
Atsar ID | Arsip Fawaid Salafy: Sebuah Renungan Untuk Ikhwan Lendah
Sebuah Renungan Untuk Ikhwan Lendah
Sebuah Renungan Untuk Ikhwan Lendah FULL
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKpY_4pSw6FSdW42nlhNmlKJJvw2oT_UcKlZ9DJweizPSRqh0II_VjPeY8TxHAoML5s58v2kxwVy9hzO2cy0ThJ3xjqnHf-DakDw5q3gajVfpjnJijTYZTd_45uu7H_KeSYFfYHgWjSUSD/s1600/sentra_gulurejo.fw_.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKpY_4pSw6FSdW42nlhNmlKJJvw2oT_UcKlZ9DJweizPSRqh0II_VjPeY8TxHAoML5s58v2kxwVy9hzO2cy0ThJ3xjqnHf-DakDw5q3gajVfpjnJijTYZTd_45uu7H_KeSYFfYHgWjSUSD/s72-c/sentra_gulurejo.fw_.png
Atsar ID | Arsip Fawaid Salafy
https://www.atsar.id/2016/03/sebuah-renungan-untuk-ikhwan-lendah.html
https://www.atsar.id/
https://www.atsar.id/
https://www.atsar.id/2016/03/sebuah-renungan-untuk-ikhwan-lendah.html
true
5378972177409243253
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts LIHAT SEMUA POST Selengkapnya Balas Batal Balas Hapus Oleh Beranda HALAMAN POSTS Lihat Semua BACA LAGI YUK LABEL ARSIP SEARCH ALL POSTS Al afwu, artikel tidak ditemukan Kembali ke Beranda Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Min Sen Sel Rab Kam Jum Sab Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des baru saja 1 menit yang lalu $$1$$ minutes ago 1 jam yang ago $$1$$ hours ago Kemarin $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago lebih dari 5 pekan yang lalu Pengikut Ikut THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy